Khulafaurrasyidin

Kamis, 28 April 2011

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Khulafaurrasyidin ialah para khalifah yang arif bijaksana. Merekalah pengganti Rasulullah Saw,sebagai pemimpin tertinggi kaum muslimin karena sepak terjang mereka mencontoh Nabi Muhammad Saw. Juga arah tujuannya, yaitu membawa umat mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat kelak
Khulafaurrasyidin memiliki pengertian orang-orang yang terpilih dan mendapat petunjuk menjadi pengganti Nabi Muhammad SAW setelah beliau wafat tetapi bukan sebagai nabi atau pun rasul. Khulafaurrasyidin berasal dari kata khalifah yang artinya pengganti dan Ar rasidin yang artinya orang-orang yang mendapatkan petunjuk. Pedoman yang dijadikan pegangan untuk memimpin islam adalah Al-Quran dan Sunah Al-Hadist.

B. Rumusan Masalah
1.      Abu Bakar Ash-Shiddiq (Th.11-13 H/632-634 M)
2.      Umar Bin Khatab (Th.13-23 H/634-644 M)
3.      Ustman Bin Affan (Th.23-35 H/644-656 M)
4.      Ali Bin Abi Thalib (Th.35-40 H/656-661 M)
BAB II
KHULAFAURRASYIDIN
( 11-40 H / 632-660 M)

Khilafah Rasyidah merupakan pemimpin umat Islam setelah Nabi Muhammad SAW wafat, yaitu pada masa pemerintahan Abu Bakar, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib, dimana sistem pemerintahan yang diterapkan adalah pemerintahan yang demokratis.[1]
Nabi Muhammad SAW tidak meninggalkan wasiat tentang siapa yang akan menggantikan beliau sebagai pemimpin politik umat Islam setelah beliau wafat. Beliau nampaknya menyerahkan persoalan tersebut kepada kaum muslimin sendiri untuk menentukannya. Karena itulah, tidak lama setelah beliau wafat; belum lagi jenazahnya dimakamkan, sejumlah tokoh Muhajirin dan Anshar berkumpul di balai kota Bani Sa’idah, Madinah. Mereka memusyawarahkan siapa yang akan dipilih menjadi pemimpin. Musyawarah itu berjalan cukup alot karena masing-masing pihak, baik Muhajirin maupun Anshar, sama-sama merasa berhak menjadi pemimpin umat Islam. Namun, dengan semangat ukhuwah Islamiyah yang tinggi, akhirnya, Abu Bakar terpilih. Rupanya, semangat keagamaan Abu Bakar mendapat penghargaan yang tinggi dari umat Islam, sehingga masing-masing pihak menerima dan membaiatnya.[2]
A.    Abu Bakar Ash-Shiddiq (Th.11-13 H/632-634 M)   
Ia dilahirkan dua tahun satu bulan setelah kelahiran Nabi Muhammad. Nama aslinya Abdullah bin Ab Quhafah. Kemudian terkanal dengan sebutan Abu Bakar. Sedang gelar Ash-Shiddiq diberikan oleh para sahabat karena ia sangat membenarkan Rasulullah Saw.
Sejak muda Abu Bakar memang sudah akrab dengan Rasulullah. Dialah yang menemani Nabi Muhammad di Gua Hira' dan dialah yang pertama kali masuk Islam dari kalangan orang tua terhormat. Sewaktu Nabi sakit ia dipercaya para sahabat menjadi Imam Sholat. Maka pantaslah bila kaum muslimin memilihnya sebagai Khalifah pertama setelah baginda Rasulullah wafat.
Tugas pertama yang dilaksanakan sebagai Khalifah, yaitu memerangi orang-orang murtad. Sepeninggal Rasulullah memang banyak kaum muslimin yang kembali ke agamanya semula. Karena Nabi Muhammad, pimpinan mereka, sudah wafat, mereka merasa berhak berbuat sekehendak hati. Bahkan muncul orang-orang yang mengaku Nabi, antara lain Musailamah Al-Kadzab, Thulaiha Al-Asadi, dan Al-Aswad Al-Ansi. Kemurtadan saat itu terjadi di mana-mana dan menimbulkan kekacauan. Untuk itu Abu Bakar mengirim 11 pasukan perang dengan 11 daerah tujuan. Antara lain, pasukan Khalid bin Walid ditugaskan menundukkan Thulaiha Al-Asadi, pasukan 'Amer bin Ash ditugaskan di Qudhla'ah. Suwaid bin Muqrim ditugaskan ke Yaman dan Khalid bin Said ditugaskan ke Syam.[3]
Selanjutnya, atas usul Umar bin Khatab, Abu Bakar memproyekkan pengumpulan dan penulisan ayat Al-Qur'an dengan menunjuk Zaid bin Tsabit sebagai pelaksananya. Hal ini dilakukan mengingat
1)      Banyak sahabat yang hafal Al-Qur'an gugur dalam perang penumpasan orang-orang murtad.
2)      Ayat-ayat Al-Qur'an yang ditulis pada kulit-kulit kurma, batu-batu, dan kayu sudah banyak yang rusak sehingga perlu penyelamatan.
3)      Pembukuan Al-Qur'an ini mempunyai tujuan agar dapat dijadikan pedoman bagi umat Islam sepanjang masa.
Disamping itu, Abu Bakar memperluas daerah dakwah Islamiyah, antara lain ke Irak yang masa itu termasuk wilayah jajahan Persi dan ke Syam yang dibawah kekuasaan Rum. Setelah memerintah selama dua tahun, Abu Bakar pulang ke Rahmatullah pada tanggal 23 agustus 624 M. Dalam usia 63 tahun dan dimakamkan dekat makam Rasulullah Saw. Beliau dikenang oleh para sahabat sebagai khalifah yang sangat taat kepada Allah dan Rasul-Nya serta berbudi luhur, tidak sombong dan amat sederhana.[4]
B.     Umar Bin Khatab (Th.13-23 H/634-644 M)
Ia lebih muda 13 tahun dari Nabi Muhammad Saw. Sejak kecil ia sudah terkenal sangat cerdas dan pemberani. Tidak pernah takut menyatakan kebenaran di depan siapa pun. Tidaklah mengherankan setelah masuknya Umar ke dalam barisan orang muslim. Ia yang sebelum memeluk Islam paling berani menentang Islam, setelah masuk Islam paling berani menghancurkan musuh Islam.
Kemudian terkenallah Umar sebagai "Singa Padang Pasir", sangat disegani. Ia sangat tegas dalam mengatakan kebenaran. Oleh karenanya digelari oleh masyarakat Al-Faruq, artinya yang dengan tegas membedakan antara yang benar dan yang salah . Sedemikian gigihnya Umar dalam menegakkan Syariat Islam sampai Abdullah bin Mas'ud mengatakan : "Sejak Islamnya Umar kami merasa mulia," (HR.Bukhari)
Pada masa pemerintahan Khalifah Umar, wilayah Islam semakin meluas sampai ke Mesir, Irak, Syam, dan negeri-negeri Persi lainnya. Beliaulah yang pertama membentuk badan kehakiman dan menyempurnakan usaha Abu Bakar dalam membukukan Al-Qur'an.
Pada masa kepemimpinan Umar Ibn Al-Khaththab, wilayah islam sudah meliputi jazirah Arabia, Palestina, Syria, sebagian besar wilayah Persia, dan Mesir. Karena perluasan daerah terjadi dengan begitu cepat, Umar Ibn Al-Khaththab segera mengatur administrasi negara dengan mencontoh administrasi pemerintahan, dengan diatur menjadi delapan wialayah propinsi : Mekah, Madinah, Syria, Jazirah, Basrah, Kufah, Palestina, dan Mesir. Beberapa departemen yang dipandang perlu didirikan pada masanya mulai diatur dan ditertibkan sistem pembayaran gaji dan pajak tanah. Pengadilan didirikan dalam rangka memisahkan lembaga Yudikatif dengan Eksekutif. Untuk menjaga keamanan dan ketertiban, Jawatan kepolisian dibentuk. Demikian juga jawatan pekerjaan umum, Umar Ibn Al-Khaththab juga mendirikan Bait al-Mall. Dalam menyelesaikan permasalahan yang berkembang dimayarakat Umar selalu berkomunikasi dengan orang-orang yang memang dianggap mampu dibidangnya.[5]
Khalifah Umar wafat pada usia 63 tahun setelah memerintah selama 10 tahun 6 bulan oleh Abu Lu'lu'ah, seorang budak milik Al-Mughirah bin Syu'bah. Khalifah Umar di tusuk dengan belati beracun, dan dikenang umat Islam sebagai pahlawan yang sangat sederhana dan sportif. Kata-kata beliau yang sangat terkenal, "Siapa yang melihat pada diriku membelok, maka hendaklah ia meluruskannya". Selain itu, beliau dikenal sangat menyayangi rakyat.[6]
C.  Ustman Bin Affan (Th.23-35 H/644-656 M)
Ia lima tahun lebih muda dari NAbi Muhammad Saw. Sejak muda, ia memiliki akhlak yang sangat mulia. Ia juga seorang saudagar yang kaya raya dan pendiam. Ialah yang membeli sumur Raumah untuk dijadikan sumur umum. Sedemikian banyak amalnya hingga masyarakat menggelarinya "ghaniyyun Syakir", yaitu orang kaya yang banyak syukurnya kepada Allah Swt. Sekalipun amat kaya, Ustman tidak segan-segan turut serta berperang. Ia juga termasuk penulis wahyu yang terkenal. Karena kebaikan-kebaikannya itulah, ia dikawinkan dengan putri Nabi yang bernama Ruqaiyah. Setelah Ruqaiyah meninggal, ia dikawinkan dengan putri Nabi lagi yang bernama Umi Kultsum. Oleh karenanya digelari "Dzun Nurain", artinya yang mempunyai dua cahaya.[7]
Langkah-langkah yang ditempuhnya setelah menjafi Khalifah, adalah mengganti gubernur-gubernur negara taklukan Islam yang ingin memisahkan diri setelah wafatnya Umar. Kemudian beliau memperbanyak naskah Al-Qur'an yang sudah dibukukan menjadi tujuh eksemplar yang antara lain dikirim ke Syam, Yaman, Bahrain, Basrah, dan Kufah.[8]
Beliau wafat pada usia 82 tahun setelah memerintah selama 12 tahun. Meninggal oleh tikaman pedang Humran bin Sudan, saat beliau membaca Al-Qur'an. Jasa besar beliau memelihara kemurnian Al-Qur'an sebagaimana yang tersebar sekarang.
D.    Ali Bin Abi Thalib (Th.35-40 H/656-661 M)
Ia sepupu Nabi Muhammad. Putra dari Abu Thalib. Usianya 32 tahun lebih muda dari Nabi. Ia mendapat asuhan langsung dari beliau. Tidaklah mengherankan jika beliaulah dari golongan anak-anak pertama masuk Islam setelah Nabi diangkat menjadi Rasul. Maka, pantas bila pengetahuan Ali tentang Islam sangat luas. Juga terkenal sangat teguh dalam memegang ajaran agama.[9]
Pada masa pemerintahan Ali Bin Abi Thalib ini, Islam banyak mengalami kemunduran. Bermula dari banyaknya pihak yang menuntut dendam atas terbunuhnya Ustman bin Affan. Terutama dari golongan Bani Umayyah dan dari kelompok Aisyah, istri Nabi Muhammad Saw. Suasana tersebut kian memanas dengan adanya kebijaksanaan Khalifah Ali mengganti sebagian besar pegawai pemerintahan yang telah diangkat oleh Ustman.
Setelah usaha menenangkan banyak golongan yang menuntut balas atas kematian Khalifah Ustman dengan jalan damai tidak berhasil, maka ditempuhlah peperangan. Pertama, terjadi perang Waq'atul Jamali atau peperangan unta antara pasukan Khalifah Ali dengan pasukan Aisyah. Perang saudara ini terjadi pada tahun 36 H/657 M akibat hasutan Abdullah bin Saba'. Dalam perang ini, pasukan Ali memperoleh kemenangan. Aisyah dikembalikan ke Madinah dengan hormat dan dimuliakan.
Perang kedua yang terjadi antara pasukan Khalifah Ali dengan pasukan golongan Umaiyyah yang dipimpin oleh Amer bin Ash. Perang ini dinamakan perang Shiffin, terjadi di dekat Sungai Furat (Ifrat) pada tahun 36 H/658 M. Menjelang kekalahannya, Amer bin Ash mengajak pasukan Ali ke meja perundingan. Siasat Amer bin Ash ini berhasil. Khalifah Ali berhasil dicopy dari jabatannya dan diangkatlah Muawiyah.
Khalifah Ali wafat pada usia 63 tahun, setelah memerintah selama 5 tahun. Beliau terbunuh oleh Abdurrahman bin Muljim, seorang dari aliran Khawarij, Beliau terbunuh pada saat akan melaksanakan sholat shubuh. Peristiwa ini terjadi pada bulan Ramadhan tahun 40 H/661M.[10]

DAFTAR PUSTAKA

Armstrong, Karen. Islam:Sejarah Singkat. Yogyakarta:Penerbit Jendela. 2003. hal 31
Yatim, Badri. Sejarah Peradaban Islam. (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003). Hal 36
Mahmundir. Islam Konsepsi dan Sejarahnya. (Bandung:  PT. Ramaja Rosdakarya, 2005). Hal 140
Al-usairy, Ahmad. Sejarah Islam ( sejak zaman nabi hingga abad XX). Jakarta: Akbar Media Eka Sarana, 2003. Hal 163


[1] Armstrong, Karen. Islam:Sejarah Singkat. Yogyakarta:Penerbit Jendela. 2003. hal 31
[2] Yatim, Badri. Sejarah Peradaban Islam. (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003). Hal 36
[3] Mahmundir. Islam Konsepsi dan Sejarahnya. (Bandung:  PT. Ramaja Rosdakarya, 2005). Hal 140
[4]Ibid 3. Hal 145
[5]Ibid 3. Hal 146
[6] Al-usairy, Ahmad. Sejarah Islam ( sejak zaman nabi hingga abad XX). Jakarta: Akbar Media Eka Sarana, 2003. Hal 163
[7] Ibid 6. Hal 165
[8] Ibid 3. Hal 159
[9] Ibid 6. Hal 172
[10] Ibid 6. Hal 177

Pengembangan Bahasa Indonesia Iptek Di Perguruan Tinggi


BAB 1
Pendahuluan
     I.          Latar Belakang
Perguruan tinggi merupakan sarana untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi oleh sebab itu perguruan tinggi merupakan tempat bagi terciptanya sumberdaya manusia yang handal dalam persaingan era globalisasi ini. Indonesia merupakan Negara yang harus mencipatakan sumberdaya manusia yang mampu mengantarkan Negara ini memiliki possisi tawar menawar dalam persaingan global. Namun dalam kenyataannya bebagai program yang dicanangkan oleh pemerintah masih hanya menjadi suatu hal yang sis-sia saja. Salah satu penyebabnya adalah kurangnya penerapan bahasa Indonesia dalam dunia IPTEK. Karena bahasa Indonesia merupakan sarana komunikasi bahasa yang utama di Indonesia maka seharusnya segala sesuatu yang berhubungan dengan  dunia komunikasi harus menggunakan bahasa Indonesia tidak terkecuali untuk IPTEK sehingga dalam perkembangannya akan berjalan dengan sangat mudah. Dengan cara ini maka tidak ada alasan bagi Indonesia untuk tertinggal dengan Negara lain bahkan bisa menjadi yang sangat diperhitungkan dalam persaingan global. Dengan alasan bahwa ada keterkaitan erat antara bahasa Indonesia, perguruan tinggi, dan Indonesia dalam persaingan global maka perguruan tinggi harus menerapkan bahasa Indonesia yang baik dan benar dan mengembangkannya dalam dunia IPTEK sehingga bahasa Indonesia menjadi bahasa IPTEK dan dalam perkembangannya mudah dipahami oleh semua lini masyarakat.
  II.          Rumusan Masalah

1.     Bagaimana menerapakan bahasa Indonesia sebagai bahasa IPTEK?
2.     Bagaimana peran perguruan tinggi dalam penerapan bahasa Indonesia dalam dunia IPTEK?
  III.          Tujuan
Menempatkan perguruan tinggi sebagai sarana pengembangan bahasa Indonesia dalam dunia IPTEK


IV.          Manfaat
Mempercepat perkembangan IPTEK di Indonesia sehingga Indonesia menjadi Negara yang maju dalam dunia IPTEK.
BAB 2
Pembahasan
     I.          Bahasa Indonesia (Keilmuan)
Seorang pekerja ilmiah yang harus melaporkan hasil temuannya dalam suatu cabang ilmu akan menghadapi beberapa masalah. Masalah yang utama adalah bagaimana konsep-konsep yang diperoleh dari penyeledikan dan kajian keilmuannya itu harus diungkapkan dan bagaimana ekspresi keilmuan itu harus dirangkai-rangkaikan dalam bahasa Indonesia. Persoalan ini sebenarnya persoalan yang universal, tidak hanya  dihadapi oleh orang Indonesia yang berbahasa Indonesia, namun juga dihadapi oleh bangsa lain yang sudah maju bahasanya.
Sebagai sarana berpikir ilmiah dan sarana komunikasi ilmiah, seorang ilmuwan harus menggunakan bahasa keilmuan. Jujun S. Suriasumantri (1995: 183-185) memberikan ciri-ciri bahasa keilmuan yang dapat mewadahi perkembangan iptek, yaitu: (1) bersifat reproduktif, (2) langsung ke sasaran (straitforward), (3) gaya berbahasa lugas, (4) tidak bersifat emotif, (5) tidak bersifat afektif, (6) menggunakan istilah keilmuan yang sah berdasarkan bidang ilmunya, dan (7) menggunakan penalaran yang logis dan runtut.
Sifat reproduktif menyebabkan uraian tidak bermakna ganda dan tidak menimbulkan salah penafsiran. Yang dikemukakan adalah isi ilmuanya dan bukan keelokan bahasanya (seperti dalam karya sastra). Karena itu, penulis karya keilmuan harus berusaha berbahasa sejelas dan sesederhana mungkin.
Sifat langsung ke sasaran harus diusahakan oleh penulis karya iptek. Penulis harus menyadari bahwa setelah dibaca orang lain, tulisannya sering sulit dipahami maknanya. Karena itu, penulis harus mampu menyatakan apa yang seharusnya dinyatakan. Tidak dibenarkan menyatakan sesuatu dengan berputar-putar atau memberikan sindiran. Menguraikan sesuatu dengan sindiran dan uraian berkepanjangan menyalahi kaidah komunikasi keilmuan.
Kedua cirri tersebut berkaitan dengan cirri ketiga, yakni bergaya bahasa lugas. Pemakaian gaya bahasa dan keindahan bahasa diusahakan sekecil mungkin karena dapat menimbulkan kesan kurang serius dan dapat menimbulkan makna ganda. Karena itu, sering dijumpai komunikasi ilmiah dengan bahasa “kering” (tidak indah seperti dalam karya sastra). Seorang pembaca naskah iptek sudah barang tentu telah siap menghadapi gaya berbahasa demikian.
Sifat emotif dan afektif sering dijumpai dalam penggunaan bahasa melalui komunikasi tidak resmi (santai dan akrab). Kedua sifat itu harus dihindari, karena bahasa iptek harus bersifat lebih rasional dan menunjukkan pemikiran apa adanya (das sein). Tulisan emotif dan afektif menimbulkan kesan ketidakpastian, sehingga karya iptek menjadi tidak meyakinkan pembacanya.
Istilah-istilah bidang keilmuan tertentu memiliki karakteristik tersendiri dalam hal pembakuan aspek semantiknya. Seorang ilmuwan yang memasuki bidang ilmu tertentu akan memahami istilah keilmuan bidang ilmunya itu dan sanggup menggunakannya dalam komunikasi ilmiah sesuai dengan makna yang diacunya. Ini merupakan salah satu bukti kekayaan keilmuwanan yang dimilikinya.
Komunikasi iptek juga mensyaratkan penerapan logika yang mapan dalam berbahasa. Karya ilmiah dalam komunikasi iptek harus menunjukkan alur pemikiran mengikuti logika tertentu yang dipilih seorang penulis.  Penulisannya harus menggunakan epistemologi keilmuan dan tidak sebebas seperti dalam komunikasi lainnya.
Johanes (dalam Herman J. Waluyo, 1991:5) mengemukakan 8 syarat gaya pengungkapan tulisan sebagai komunikasi iptek, yaitu: (1) nada tulisan iptek/keilmuan bersifat formal dan objektif, (2) titikpandang baku (grammatical point of view) dan harus taat azas, (3) tingkat bahasa yang dipakai dalam tulisan iptek adalah tingkat bahasa resmi dan bukan bahasa harian (colloquial), (4) bentuk wacana paparan (exposition) lebih banyak dipakai daripada bentuk argumentasi, deskripsi, dan narasi, (5) komunikasi gagasan dalam karya iptek harus jelas, lengkap, dan ringkas, serta dapat meyakinkan secara tepat, (6) sejauh mungkin dihindari istilah ekstrem, berlebihan, dan haru (emosional), (7) menghindari kata-kata mubazir, dan (8) bahasa keilmuan lebih berkomunikasi dengan pikiran daripada dengan perasaan.
Di samping itu, sebagai bahasa iptek bahasa Indonesia juga harus dapat menjalankan 4 fungsi bahasa iptek, yaitu: (1) fungsi referensial, (2) fungsi direktif, (3) fungsi metalingual, dan (4) fungsi fatis (Zuchridin Suryawinata, 1995: 64-73).Menurut Anton M. Moeliono (1991:114-126; 1993:6-7), pengembangan bahasa Indonesia agar menjadi bahasa yang modern, dalam arti dapat mewadahi perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta relevan dengan perkembangan peradaban dunia, harus bertopang pada 3 kegiatan, yaitu: (1) pengembangan kecendekiaan bahasa, (2) pemekaran kosa kata, dan (3) pengembangan laras bahasa.

    II.           Strategi Pengembangan Bahasa Indonesia IPTEK di Perguruan Tinggi
Untuk mengembangkan bahasa Indonesia sebagai bahasa iptek, sedikitnya terdapat tiga modal dasar yang secara politis dapat dipergunakan sebagai landasan pengembangan.
Pertama, Sumpah Pemuda 1928 yang berisi pengakuan bahwa bahasa Indonesia adalah bahasa nasional, merupakan langkah pertama yang menentukan dalam menentukan garis kebijaksanaan mengenai bahasa nasional Indonesia. Kedua, UUD 1945 Bab VI Pasal 36 yang menyatakan “Bahasa negara ialah bahasa Indonesia.” Hal ini memberikan dasar yang kuat dan resmi bagi pemakaian bahasa Indonesia bukan saja sebagai bahasa perhubungan pada tingkat nasional, tetapi juga sebagai bahasa kenegaraan. Ketiga, perwujudan Politik Bahasa Nasional yang menyatakan mengenai dua fungsi bahasa Indonesia, yaitu sebagai bahasa nasional dan sebagai bahasa negara.
Sebagai bahasa nasional, bahasa Indonesia merupakan lambang kebulatan semangat kebangsaan Indonesia, alat penyatuan berbagai masyarakat yang berbeda-beda latar belakang kebahasaan, kebudayaan, dan kesukuannya ke dalam satu masyarakat nasional Indonesia. Sedangkan dalam kedudukannya sebagai bahasa negara, bahasa Indonesia adalah bahasa resmi pemerintahan, bahasa pengantar di dalam dunia pendidikan, alat perhubungan pada tingkat nasional untuk kepentingan perencanaan dan pelaksanaan pembangunan nasional, serta sebagai alat pengembangan kebudayaan, ilmu pengetahuan, dan teknologi (Amran Halim, 1989:15-17).
Salah satu dasar tersebut memberikan kerangka yang kuat bagi pengembangan bahasa Indonesia sebagai sarana pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi melalui jalur pendidikan.
Menurut S. Effendi (dalam Amran Halim, 1984:17), dalam proses pengembangan bahasa Indonesia terdapat beberapa komponen yang saling berinteraksi, yaitu: (1) komponen bahasa yang akan dikembangkan, yang di dalamnya meliputi segi fonologi, tatabahasa, dan leksikon; (2) komponen proses pengembangan, yang menyangkut sasaran pengarahan proses; (3) komponen hasil pengembangan, yang mengacu pada hasil proses pengembangan yang dilakukan; (4) komponen instrumen pengembangan, yang meliputi tenaga pengembangan, rencana induk pengembangan, manajemen pengembangan, fasilitas dana, dan peralatan; dan (5) komponen lingkungan pengembangan, yang meliputi lingkungan sosial budaya, politik, dan pendidikan. Ancangan program tersebut dapat digambarkan dalam bagan sebagai berikut.
Bagan tersebut menunjukkan bahwa sektor pendidikan dipilih sebagai lingkungan pengembangan bahasa Indonesia iptek yang sejajar dengan lingkungan yang lain (seni budaya, ekonomi, politik). Dalam perspektif ini, lingkungan pendidikan tinggi dipandang sebagai ujung tombak bagi pengembangan program yang dimaksud, sebab jenjang pendidikan tinggi dipandang memiliki porsi yang lebih luas bagi pengembangan, penerapan, dan rekayasa iptek.
Pola yang dipandang tepat untuk mengembangkan bahasa Indonesia iptek yaitu dengan menggunakan prinsip integral, terpadu, dan kontinu. Prinsip integral mengacu pada pengertian bahwa semua disiplin ilmu yang dikaji di perguruan tinggi, termasuk jajaran sivitas akademikanya, harus secara integral dapat menyatukan langkah dalam mendukung program pengembangan bahasa Indonesia iptek.
Program pengembangan bahasa Indonesia iptek bukanlah program yang berdiri sendiri. Program ini harus merupakan satu kesatuan yang padu dengan program-program akademik lainnya dan merupakan bagian yang takterpisahkan dari rencana induk pengembangan perguruan tinggi dalam bidang nonfisik. Inilah yang dimaksud dengan prinsip terpadu.
Sedangkan prinsip kontinu berhubungan dengan masalah kontinuitas pelaksanaan program yang telah direncanakan. Meskipun terikat oleh alokasi waktu, program yang disusun diusahakan selalu berkesinambungan dan selalu ditingkatkan dalam hal kuantitas dan kualitasnya.
Perwujudan ketiga prinsip tersebut akan terlaksana dengan baik apabila didukung oleh tiga hal, yaitu: perencanaan program yang baik, pelaksanaan program yang mantap, dan pelaksana program yang berintegritas dan berkualitas. Sudah barang tentu faktor lingkungan dan fasilitas (termasuk fasilitas dana) juga sangat menentukan. Lingkungan yang kurang kondusif bagi pengembangan bahasa Indonesia iptek dan terbatasnya sarana yang tersedia akan menjadi penghambat pencapaian hasil yang diharapkan.
Berdasarkan kondisi umum yang ada pada sebagian besar perguruan tinggi di Indonesia, program pengembangan bahasa Indonesia iptek dapat dilakukan melalui berbagai sarana, di antaranya melalui proses belajar mengajar, penerjemahan dan pembentukan istilah bidang keilmuan (iptek), media penerbitan kampus seperti jurnal dan bulletin ilmiah, kegiatan-kegiatan ilmiah semacam seminar, lokakarya, penataran, melalui lomba penulisan iptek, dan kegiatan-kegiatan khusus lainnya.
Mengenai pelaksana program, dapat dibentuk sebuah panitia pelaksana atau sebuah tim yang terdiri atas para dosen, karyawan, mungkin pula mahasiswa, dan pihak-pihak terkait lainnya. Penentuan anggota tim semata-mata didasarkan pada aspek kualitas, integritas, dan komitmennya terhadap program pengembangan bahasa Indonesia iptek.
Seluruh program tersebut akan dievaluasi secara periodic dalam kurun waktu tertentu. Evaluasi program ini dimaksudkan untuk menilai sejauh mana program yang direncanakan telah dilaksanakan, dan dapat pula dipergunakan untuk mendiagnosis hambatan-hambatan yang muncul dalam proses pelaksanaannya.
Berikut ini akan penulis uraikan sarana-sarana penting yang dapat dipergunakan sebagai perwujudan strategi pengembangan bahasa Indonesia iptek di perguruan tinggi.

1.     Proses Belajar Mengajar di Perguruan Tinggi
Kecuali dalam pengajaran bahasa asing dan bahasa daerah pada program studi
program studi tertentu, bahasa Indonesia dipergunakan sebagai bahasa pengantar dalam proses belajar mengajar di perguruan tinggi. Hal  ini berarti bahwa semua materi mata kuliah, apapun jenisnya, harus disampaikan dalam bahasa Indonesia. Ini satu fakta yang dapat dimanfaatkan sebagai sarana yang paling penting dalam pengembangan bahasa Indonesia iptek di perguruan tinggi.
Dalam menyampaikan materi keilmuan kepada para mahasiswa, para dosen sering menggunakan istilah-istilah dan ungkapan-ungkapan khusus bidang keilmuannya. Dalam konteks ini, para dosen harus mampu dan bersedia mengungkapkannya dengan menggunakan bahasa Indonesia, jika istilah-istilah itu telah dibakukan penggunaannya.
Para dosen ini adalah pelaksana program yang penting. Sebagai pihak yang berada pada jajaran paling depan, tidaklah berlebihan jika keberhasilan pelaksanaan program lebih banyak ditumpukan pada kerja dan komitmen mereka. Untuk itu, pemantapan kualitas penguasaan bahasa Indonesia keilmuan dan sikap yang positif terhadap pengembangan bahasa Indonesia iptek harus ditanamkan sejak dini kepada para dosen tersebut.
Hubungan antara bahasa Indonesia keilmuan dan mata kuliah yang diberikan kepada mahasiswa dalam proses belajar mengajar di perguruan tinggi sangatlah erat. Mata kuliah apapun disampaikan oleh dosen dalam bahasa Indonesia. Mahasiswa dapat menangkap isi mata kuliah yang diberikan dosen karena mereka mengerti bahasa Indonesia. Buku-buku yang dipakai untuk semua mata kuliah itu sebagian besar ditulis pula dalam bahasa Indonesia keilmuan.
Walaupun semua mata kuliah itu dapat menyumbang secara nyata kepada pengembangan bahasa Indonesia para mahasiswa, harus diingat bahwa fungsi utama berbagai mata kuliah nonbahasa itu adalah menyampaikan materi (isi) setiap mata kuliah. Akan tetapi, isi mata kuliah itu tidak dapat disampaikan dan tidak dapat diterima tanpa bahasa. Dengan demikian, setiap mata kuliah masih memberikan tekanan pada bidangnya masing-masing sebagaimana mestinya, tetapi kerja sama antara keduanya membuat para mahasiswa menjadi yakin terhadap pentingnya fungsi bahasa Indonesia keilmuan bagi kelangsungan studi mereka. Kondisi ini secara langsung maupun tidak langsung, akan memotivasi mereka untuk mengembangkan bahasa Indonesia keilmuannya menjadi lebih baik. Penemuan psikolinguistik menunjukkan bahwa motivasi dan perhatian merupakan faktor-faktor yang amat penting bagi keberhasilan pengembangan bahasa Indonesia. Sebab itu, motivasi dan minat ini perlu dibina terus-menerus.
Dalam proporsi yang lebih khusus, program pengembangan bahasa Indonesia iptek juga dapat dilaksanakan melalui pengajaran mata kuliah Bahasa Indonesia sebagai Mata Kuliah Dasar Umum (MKDU) di perguruan tinggi. Meskipun dalam praktik tidak semua perguruan tinggi memberikan mata kuliah Bahasa Indonesia, mata kuliah ini dipandang sangat baik sebagai sarana pengembangan dan pengkajian bahasa Indonesia iptek. Dalam pelaksanaannya, materi yang disampaikan hendaknya disesuaikan dengan bidang keilmuan yang sedang ditekuni para mahasiswa. Untuk mahasiswa teknik diajarkan bahasa Indonesia teknik, mahasiswa ekonomi diajarkan bahasa Indonesia ekonomi, begitu pula untuk mahasiswa matematika, pertanian, kedokteran, dan sebagainya. Jadi ada spesifikasi khusus yang mengacu pada bidang keilmuan tertentu, tanpa mengesampingkan konvensi-konvensi kebahasaan secara umum.
Materi MKDU Bahasa Indonesia yang monoton dan membosankan harus secepatnya ditinggalkan dan diganti dengan materi-materi yang relevan. Kecenderungan para pengajar MKDU Bahasa Indonesia yang hanya menekankan pada masalah penguasaan ejaan, tatabahasa, dan pengetahuan kebahasaan lainnya harus segera ditinjau ulang dan disempurnakan.
Satu hal yang harus diperhatikan, terlepas dari pola dan materi apa yang dipakai oleh dosen di perguruan tinggi, rencana/program mata kuliah Bahasa Indonesia tidak boleh menyimpang dari aspek pokok pengajaran bahasa Indonesia secara umum. Menurut Jazir Burhan (1981:7-9), pengajaran bahasa Indonesia, kepada siapapun dan dilaksanakan pada jenjang apapun, harus meliputi 3 aspek pokok, yaitu (1) aspek humanistik, (2) aspek politik, dan (3) aspek kultural.
Aspek humanistik adalah aspek yang berhubungan dengan masalah manusia pada umumnya. Dalam hubungan ini, masalahnya adalah masalah fungsi bahasa pada umumnya bagi manusia. Fungsi bahasa pada manusia adalah sebagai alat untuk menyatakan pikiran dan perasaan, alat untuk memahami peradaban dan kebudayaan bangsa, dan alat berpikir dan berbuat dalam usaha manusia mempertinggi taraf kebudayaannya.
Aspek politik adalah aspek yang berhubungan dengan cita-cita politik bangsa Indonesia. Aspek ini digambarkan sebagai keinsyafan setiap warga negara untuk memelihara, mengembangkan, dan menghargai dengan setinggi-tingginya akan keberadaan bahasa nasionalnya.
Sedangkan aspek kultural adalah aspek yang berhubungan dengan kebudayaan, dalam hal ini adalah kebudayaan nasional Indonesia. Dalam konteks ini, aspek itu terwujud dalam keyakinan para mahasiswa akan pentingnya penguasaan bahasa Indonesia sebagai bahasa kebudayaan dan bahasa ilmu pengetahuan.
Pengembangan bahasa Indonesia iptek dapat pula dilaksanakan melalui Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia IKIP/FKIP atau Fakultas Sastra di universitas. Meskipun tidak semua perguruan tinggi memiliki program studi atau fakultas itu, pemanfaatan program studi atau fakultas tersebut dipandang sangat efektif. Sesuai dengan bidang ilmunya yang relevan, program studi atau fakultas ini harus dapat menjadi pelopor pengembangan bahasa Indonesia iptek. Selain melalui proses belajar mengajar yang rutin, program yang dilaksanakan dapat pula dilakukan melalui penelitian, ceramah/seminar, penerbitan istilah keilmuan, jurnal-jurnal kebahasaan yang diterbitkan program studi, dan sebagainya.
Anton M. Moeliono (1989:80) menyatakan bahwa masalah pembinaan bahasa Indonesia di universitas baru dapat ditangani dan diatasi jika pengajaran bahasa Indonesia pada Program Studi Bahasa dan Sastra Indonesia sudah disempurnakan. Pengajaran yang dimaksud juga harus didukung adanya kurikulum yang menarik dan relevan dengan kebutuhan masyarakat/pembangunan.

2.     Penerjemahan dan Pembentukan Istilah Keilmuan.
Kosa kata keilmuan bahasa Indonesia nyatanya masih kurang memadai. Karena itu, masih terus-menerus diusahakan pemekaran kosa kata dalam berbagai disiplin ilmu, dan pemekaran kosa kata ini harus selalu berpijak pada kaidah-kaidah keilmuan secara internasional. Karena ilmu bersifat universal, maka kosa kata yang digunakan tidak boleh melanggar konvensi internasional dalam bidang keilmuan yang bersifat universal tersebut.
Kosa kata (istilah) fisika, kimia, biologi, matematika, teknik, kedokteran, kosmetika, dan sebagainya, sebagian besar masih dikemukakan dalam bahasa asing. Usaha pengindonesiaan istilah-istilah tersebut terus dilakukan, meskipun hambatannya tidak kecil. Misalnya, betapa sulitnya menerjemahkan istilah-istilah keilmuan berikut ini: absorbsi, pendaflor, polarisasi, magnetoresistance, relativitas, kinematis, ionosfir, helisitas (fisika); oksiser, ornitofili, nanofil, klon, hapaksantik, diasitik, stonium (biologi); nuklida, ekstrusi, alastomer, difraksi, diazotisasi, bromin, bitumen (kimia); liabilitas, liposstatik, defoliasi, disinfestan, diostikia, mulsa (peternakan); dan sebagainya.
Contoh-contoh tersebut menunjukkan bahwa dalam bidang-bidang keilmuanj tertentu, penerjemahan tidak selalu mudah dan sederhana. Menurut Anton M. Moeliono (1989:195), usaha penerjemahan itu pada hakikatnya mengandung makna memproduksi amanat atau pesan di dalam bahasa sumber dengan padanan yang paling wajar dan paling dekat di dalam bahasa penerima, baik dari aspek arti maupun dari aspek langgam atau gaya.
Penerjemahan itu pertama-tama harus bertujuan membahasakan kembali isi amanat atau pesan. Idealnya, terjemahan tidak akan atau sebaiknya tidak dirasakan sebagai terjemahan. Namun untuk memproduksi amanat itu janganlah berakibat timbulnya berbagai struktur yang tidak lazim di dalam bahasa penerima.
Wonderly (1968:50) membedakan dua macam penerjemahan, yaitu penerjemahan formal dan penerjemahan dinamis. Penerjemahan dinamis pertama-tama berusaha untuk menyampaikan isi amanat dalam bahasa sumber dengan ungkapan-ungkapan yang lazim dalam bahasa terjemahan. Penerjemahan dinamis ini dipandang lebih baik dibandingkan dengan penerjemahan formal.
Terjemahan karya iptek dalam bahasa Indonesia banyak yang tidak memuaskan, karena para penerjemah tidak terlaltih dalam ilmu penerjemahan. Hal ini yang harus diantisipasi sejak dini oleh kalangan perguruan tinggi. Memang tidak ada terjemahan yang dapat mengalihkan secara menyeluruh isi dan bentuk suatu teks dari satu bahasa ke dalam bahasa yang lain. Terjemahan 100% itu tidak mungkin.
Walaupun jauh dari ideal, menyadari pentingnya penyediaan terjemahan bagi pengembangan bahasa Indonesia iptek, para pakar dapat menerima padanan yang cukup mendekati teks aslinya sebagai terjemahan yang memadai. Tekanannya adalah pada “padanan yang wajar dan terdekat” (closest natural equivalent). Penerjemahan harus berusaha mengalihkan makna, bukan bentuk leksikogramatikal bahasa sumbernya (Daud H. Soesilo, 1990:186).
Selama ini pembentukan istilah di negeri ini dilakukan oleh Komisi Pembentukan Istilah, Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Dalam rangka pembentukan istilah keilmuan, perguruan tinggi seharusnya mengambil peran yang lebih besar dibandingkan kondisi yang ada sekarang ini. Hal ini dimungkinkan karena di perguruan tinggi istilah-istilah keilmuan lebih banyak ditemukan dan dipergunakan. Kalangan perguruan tinggi yang selama ini hanya bertindak sebagai konsumen harus secepatnya ditinggalkan. Perguruan tinggi harus mampu menyumbangkan perannya sebagai “produsen” istilah-istilah keilmuan dari disiplin ilmu yang beragam.
Bentuk yang lebih konkret, baik melalui penerjemahan maupun melalui pemekaran kosa kata, dapat dilakukan kalangan perguruan tinggi dengan jalan menyusun daftar (senarai) istilah-istilah keilmuan dalam berbagai bidang, misalnya istilah khusus matematika, biologi, fifika, kedokteran, pertanian, teknik, ekonomi, kebudayaan, dan sebagainya. Sudah barang tentu langkah kerja yang demikian itu harus tetap dalam koordinasi dengan Komisi Pembentukan Istilah.
Anton M. Moeliono (1993:6) menyatakan bahwa pengembangan peristilahan bahasa Indonesia iptek sepatutnya dilaksanakan dengan mengikuti langkah-langkah sebagai berikut: (1) klasifikasi ilmu, (2) taksonomi cabang ilmu, (3) penentuan kelompok sasaran’ (4) penentuan cakupan kumpulan istilah, (5) perumusan definisi dan penetapan istilah padanan, (6) penyelarasan definisi dan istilah padanan, dan (7) penerbitan daftar istilah dan kamus cabang ilmu. Langkah-langkah semacam itu kiranya tepat  dilaksanakan oleh perguruan tinggi dalam rangka pengembangan bahasa Indonesia iptek.

3.     Kegiatan-Kegiatan lain.
Strategi lain yang dapat dipergunakan untuk mengembangkan bahasa Indonesia iptek di perguruan tinggi adalah dengan memanfaatkan kegiatan-kegiatan dan sarana yang beraneka ragam. Sarana yang mungkin dapat dipergunakan misalnya melalui penataran/ ceramah/ seminar, lomba penulisan karya ilmiah, penerbitan artikel-artikel tentang bahasa Indonesia iptek pada jurnal-jurnal atau buletin-buletin yang ada, dan sebagainya. Meskipun tidak dikhususkan sebagai sarana pengembangan bahasa Indonesia iptek, sarana-sarana tersebut dipandang sangat efektif dan efisien dalam mengemban misi itu.

4.     Kendala-Kendala Pengembangan Bahasa Indonesia IPTEK di Peguruan Tinggi.
Menurut Garvin dan Mathiot (dalam Suwito, 1991:91), sikap positif terhadap bahasa  ditandai dengan: (1) bangga akan bahasa yang dipergunakan, (2) setia kepada bahasa, dan (3) sadar akan penggunaan kaidah bahasa. Kenyataannya, sikap-sikap positif tersebut sampai sekarang belum tertanam dengan baik pada sivitas akademika di perguruan tinggi. Kendala semacam ini merupakan faktor penghambat yang besar bagi pengembangan bahasa Indonesia iptek di perguruan tinggi. Tidak jarang di antara mereka yang cenderung bersikap negatif terhadap bahasa Indonesia, misalnya: (1) menganggap bahasa Indonesia sebagai bahasa yang tidak perlu dipelajari, (2) menganggap bahasa Inggris lebih bagus dan lebih ilmiah dibandingkan bahasa Indonesia, (3) menganggap bahasa Indonesia tidak mungkin menjadi bahasa murni dan modern (Sri Hastuti, 1993:1-4).
Tantangan lain yang muncul adalah masalah rendahnya kualitas pelaksana program. Sering ditemukan betapa sangat memprihatinkannya penggunaan bahasa Indonesia para dosen, karyawan, dan pihak-pihak terkait lainnya, terlebih lagi penguasaan bahasa Indonesia keilmuannya. Ini hambatan yang memerlukan waktu cukup lama untuk membenahinya. Dalam diri mereka masih tertanam sikap yang menganggap bahwa penguasaan terhadap bahasa Indonesia iptek bukan merupakan kebutuhan pokok yang mendesak. Sikap apatis semacam ini melanda hampir sebagian besar sivitas akademika perguruan tinggi.
Apabila program pengembangan bahasa Indonesia iptek tersebut dapat direkayasa dalam bentuk program yang terencana oleh suatu lembaga pendidikan tinggi, masalah yang mungkin dihadapi paling awal adalah masalah dana operasionalnya. Hal ini mengingat kondisi objektif perguruan tinggi di Indonesia akhir-akhir ini, yang untuk melaksanakan program-program intinya saja masih kekurangan dana. Alokasi dana yang tersedia sebagian besar masih diprioritaskan bagi pengadaan dan perbaikan sarana-sarana fisik, seperti perbaikan gedung, pengadaan peralatan laboratorium, komputer, dan sebagainya. Dengan demikian, harus disadari jika program pengembangan bahasa Indonesia iptek di perguruan tinggi (jika ada) tidak mendapatkan prioritas yang utama dibandingkan program-program akademik lainnya.

BAB 3
PENUTUP

1.     Kesimpulan
Untuk menyelaraskan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sangat pesat, bahasa Indonesia harus dikembangkan agar relevan dengan perkembangan iptek tersebut. Dalam rangka itu, lembaga pendidikan tinggi dipandang sebagai tempat yang strategis untuk mengembangkan bahasa Indonesia iptek itu. Hal ini dimungkinkan karena perguruan tinggi memiliki kesempatan yang lebih besar dalam mengkaji, merekayasa, dan menerapkan ilmu pengetahuan dan teknologi dibandingkan dengan lingkungan yang lain.
Pada satu sisi, program pengembangan bahasa Indonesia iptek akan sangat menguntungkan bagi kalangan perguruan tinggii, karena berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan akan media ekspresi keilmuan yang beraneka ragam macamnya. Pada sisi yang lain, pelaksanaan program ini dipandang sebagai salah satu bentuk kepedulian dan partisipasi perguruan tinggi dalam ikut serta memikirkan masalah-masalah nasional.
Untuk mewujudkan tujuan itu, perlu disusun strategi yang cocok, sistematis, dan diusahakan tidak memerlukan biaya yang besar. Keberhasilan pelaksanaan strategi yang dimaksud ditentukan oleh 3 hal, yaitu faktor perencanaan program, pelaksana program, dan faktor pelaksanaannya.
Program yang disusun hendaknya dirancang secara sistematis dengan mempertimbangkan faktor kemungkinannya untuk diterapkan serta memanfaatkan fasilitas-fasilitas yang sudah tersedia. Program itu juga harus merupakan bagian yang takterpisahkan dari rencana induk pengembangan perguruan tinggi secara keseluruhan.
Dalam pelaksanaannya, pengembangan bahasa Indonesia iptek dapat mempergunakan sarana-sarana pengembangan yang tersedia, yaitu melalui proses belajar mengajar, penerjemahan dan pembentukan istilah keilmuan, lomba penulisan karya ilmiah, penerbitan artikel-artikel yang relevan, seminar, penataran, dan kegiatan-kegiatan khusus lainnya. Khusus dalam proses belajar mengajar, pelaksanaan program ini dapat diimplementasikan melalui proses perkuliahan secara rutin pada semua fakultas/program studi, melalui MKDU Bahasa Indonesia, dan melalui proses belajar mengajar pada Program Studi Bahasa dan Sastra Indonesia (jika ada). Pelaksana program yang dibutuhkan dapat berasal dari unsur dosen, karyawan, maupun dari unsur mahasiswa, yang pemilihannya ditentukan berdasarkan sikap dan komitmen mereka terhadap program pengembangan bahasa Indonesia iptek. Program-program tersebut harus dilaksanakan dengan menggunakan prinsip integral, terpadu, dan kontinu.
Dalam pelaksanaannya di lapangan, faktor-faktor yang dimungkinkan dapat menghambat pelaksanaan program harus diantisipasi dan dikendalikan sejak diini. Kendala-kendala yang muncul, misalnya dapat berbentuk lingkungan yang tidak mendukung, sikap objek sasaran program yang kurang posisitf, fasilitas yang tidak memadai, kualitas pelaksana program yang rendah, dan sebagainya.
2.     Saran
Bahasa Indonesia IPTEK merupakan suatu jalan untuk membuat Indonesia maju dalam hal sumberdaya manusia dan IPTEK. Dalam hal ini perguruan tinggi merupakan sarana yang baik karena perguruan tinggi merupakan pendidikan yang paling tinggi dimana para mahasiswa telah memiliki pemikiran-pemikiran yang lebih dalam karya-karyanya untuk memajukan bangsa Indonesia. Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai bahasa bangsanya. Maka, kita harus menggunakan bahsa Indonesia yang baik dan benar serta mengembangkannya menjadi bahasa IPTEK agar lebih mudah dalam menyebarkan pendidikan IPTEK di Indonesia.

Daftar Pustaka
Amran Halim (ed). 1989. Politik Bahasa Nasional I. Jakarta: Pusbinbangsa.


Anton M. Moeliono. 1991. Ancangan Alternatif dalam Pembinaan dan Pengembangan
      
       Bahasa. Jakarta: jambatan.


Burhan, Jazir. 1981. Problema Bahasa dan Pengajaran Bahasa Indonesia.

       Bandung: Ganaco.


Hartuti, Sri. 1993. Permasalahan dalam Bahasa Indonesia. Yogjakarta: Intan.

Penyesuaian Diri Remaja

Selasa, 26 April 2011

BAB I
Pendahuluan
A.    Latar belakang masalah.
Sebagaimana telah dipahami bahwa dalam perkembangannya manusia akan melewati masa remaja. Remaja adalah anak manusia yang sedang tumbuh selepas masa anak – anak menjelang dewasa. Dalam masa ini tubuhnya berkembang sedemikian pesat dan terjadi perubahan – perubahan dalam bentuk fisk dan psikis.
Badannya tumbuh berkembang menunjukkan tanda – tanda orang dewasa, perilaku sosialnya berubah semakin menyadari keberadaa dirinya, ingin diakui dan berkembang pemikiran maupun wawasannya secara lebih luas.
Secara keseluruhan kepribadian mempunyai fungsi sebagai penentu primer dalam penyesuaian diri. Penentu berarti faktor yang mendukung, mempengaruhi, atau menimbulkn efek bagi proses penyesuaian. Secara sekunder proses penyesuaian ditentukan oleh faktor – faktor yang menentukan kepribadian itu sendiri baik internal maupun eksternal.
B.     Rumusan masalah.
1.   Apa yang dimaksud penyesuaian diri?
2.   Aja saja aspek-aspek penyesuaian diri?
3.   Apa saja yang mempengaruhi dalam pembentukan penyesuain diri?

BAB II
Penyesuaian Diri Remaja
A.    Pengertian.
Pengertian penyesuaian diri pada awalnya berasal dari suatu pengertian yang didasarkan pada ilmu biologi yang di utarakan oleh Charles Darwin yang terkenal dengan teori evolusinya. Ia mengatakan: "Genetic changes can improve the ability of organisms to survive, reproduce, and, in animals, raise offspring, this process is called adaptation".(Microsoft Encarta Encyclopedia 2002).
Sesuai dengan pengertian tersebut, maka tingkah laku manusia dapat dipandang sebagai reaksi terhadap berbagai tuntutan dan tekanan lingkungan tempat ia hidup seperti cuaca dan berbagai unsur alami lainnya. Semua mahluk hidup secara alami dibekali kemampuan untuk menolong dirinya sendiri dengan cara menyesuaikan diri dengan keadaan lingkungan materi dan alam agar dapat bertahan hidup. Dalam istilah psikologi, penyesuaian (adaptation dalam istilah Biologi) disebut dengan istilah adjusment.
Adjustment itu sendiri merupakan suatu proses untuk mencari titik temu antara kondisi diri sendiri dan tuntutan lingkungan (Davidoff, 1991). Manusia dituntut untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan sosial, kejiwaan dan lingkungan alam sekitarnya. Kehidupan itu sendiri secara alamiah juga mendorong manusia untuk terus-menerus menyesuaikan diri.
Berdasarkan uraian di atas dapat dikatakan bahwa penyesuaian diri merupakan suatu proses dinamis yang bertujuan untuk mengubah perilaku individu agar terjadi hubungan yang lebih sesuai antara diri individu dengan lingkungannya. Atas dasar pengertian tersebut dapat diberikan batasan bahwa kemampuan manusia sanggup untuk membuat hubungan-hubungan yang menyenangkan antara manusia dengan lingkungannya.


B.     Aspek-aspek Penyesuaian Diri.
Pada dasarnya penyesuaian diri memiliki dua aspek yaitu: penyesuaian pribadi dan penyesuaian sosial. Untuk lebih jelasnya kedua aspek tersebut akan diuraikan sebagai berikut :
1.   Penyesuaian Pribadi.
Penyesuaian pribadi adalah kemampuan individu untuk menerima dirinya sendiri sehingga tercapai hubungan yang harmonis antara dirinya dengan lingkungan sekitarnya. Ia menyadari sepenuhnya siapa dirinya sebenarnya, apa kelebihan dan kekurangannya dan mampu bertindak obyektif sesuai dengan kondisi dirinya tersebut. Keberhasilan penyesuaian pribadi ditandai dengan tidak adanya rasa benci, lari dari kenyataan atau tanggungjawab, dongkol. kecewa, atau tidak percaya pada kondisi dirinya. Kehidupan kejiwaannya ditandai dengan tidak adanya kegoncangan atau kecemasan yang menyertai rasa bersalah, rasa cemas, rasa tidak puas, rasa kurang dan keluhan terhadap nasib yang dialaminya.
Sebaliknya kegagalan penyesuaian pribadi ditandai dengan keguncangan emosi, kecemasan, ketidakpuasan dan keluhan terhadap nasib yang dialaminya, sebagai akibat adanya gap antara individu dengan tuntutan yang diharapkan oleh lingkungan. Gap inilah yang menjadi sumber terjadinya konflik yang kemudian terwujud dalam rasa takut dan kecemasan, sehingga untuk meredakannya individu harus melakukan penyesuaian diri.
2.   Penyesuaian Sosial.
Setiap individu hidup di dalam masyarakat. Di dalam masyarakat tersebut terdapat proses saling mempengaruhi satu sama lain silih berganti. Dari proses tersebut timbul suatu pola kebudayaan dan tingkah laku sesuai dengan sejumlah aturan, hukum, adat dan nilai-nilai yang mereka patuhi, demi untuk mencapai penyelesaian bagi persoalan-persoalan hidup sehari-hari. Dalam bidang ilmu psikologi sosial, proses ini dikenal dengan proses penyesuaian sosial. Penyesuaian sosial terjadi dalam lingkup hubungan sosial tempat individu hidup dan berinteraksi dengan orang lain. Hubungan-hubungan tersebut mencakup hubungan dengan masyarakat di sekitar tempat tinggalnya, keluarga, sekolah, teman atau masyarakat luas secara umum. Dalam hal ini individu dan masyarakat sebenarnya sama-sama memberikan dampak bagi komunitas. Individu menyerap berbagai informasi, budaya dan adat istiadat yang ada, sementara komunitas (masyarakat) diperkaya oleh eksistensi atau karya yang diberikan oleh sang individu.
Apa yang diserap atau dipelajari individu dalam poroses interaksi dengan masyarakat masih belum cukup untuk menyempurnakan penyesuaian sosial yang memungkinkan individu untuk mencapai penyesuaian pribadi dan sosial dengan cukup baik. Proses berikutnya yang harus dilakukan individu dalam penyesuaian sosial adalah kemauan untuk mematuhi norma-norma dan peraturan sosial kemasyarakatan. Setiap masyarakat biasanya memiliki aturan yang tersusun dengan sejumlah ketentuan dan norma atau nilai-nilai tertentu yang mengatur hubungan individu dengan kelompok. Dalam proses penyesuaian sosial individu mulai berkenalan dengan kaidah-kaidah dan peraturan-peraturan tersebut lalu mematuhinya sehingga menjadi bagian dari pembentukan jiwa sosial pada dirinya dan menjadi pola tingkah laku kelompok.
Kedua hal tersebut merupakan proses pertumbuhan kemampuan individu dalam rangka penyesuaian sosial untuk menahan dan mengendalikan diri. Pertumbuhan kemampuan ketika mengalami proses penyesuaian sosial, berfungsi seperti pengawas yang mengatur kehidupan sosial dan kejiwaan. Boleh jadi hal inilah yang dikatakan Freud sebagai hati nurani (super ego), yang berusaha mengendalikan kehidupan individu dari segi penerimaan dan kerelaannya terhadap beberapa pola perilaku yang disukai dan diterima oleh masyarakat, serta menolak dan menjauhi hal-hal yang tidak diterima oleh masyarakat.
C.    Pembentukan Penyesuaian Diri.
Penyesuaian diri yang baik, yang selalu ingin diraih setiap orang, tidak akan dapat tercapai, kecuali bila kehidupan orang tersebut benar-benar terhindar dari tekanan, kegoncangan dan ketegangan jiwa yang bermacam-macam, dan orang tersebut mampu untuk menghadapi kesukaran dengan cara objektif serta berpengaruh bagi kehidupannya, serta menikmati kehidupannya dengan stabil, tenang, merasa senang, tertarik untuk bekerja, dan berprestasi.
Pada dasarnya penyesuaian diri melibatkan individu dengan lingkungannya, pada penulisan ini beberapa lingkungan yang dianggap dapat menciptakan penyesuaian diri yang cukup sehat bagi remaja, diantaranya adalah sebagai berikut:
1.   Lingkungan Keluarga.
Semua konflik dan tekanan yang ada dapat dihindarkan atau dipecahkan bila individu dibesarkan dalam keluarga dimana terdapat keamanan, cinta, respek, toleransi dan kehangatan. Dengan demikian penyesuaian diri akan menjadi lebih baik bila dalam keluarga individu merasakan bahwa kehidupannya berarti.
Rasa dekat dengan keluarga adalah salah satu kebutuhan pokok bagi perkembangan jiwa seorang individu. Dalam prakteknya banyak orangtua yang mengetahui hal ini namun mengabaikannya dengan alasan mengejar karir dan mencari penghasilan yang besar demi memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga dan menjamin masa depan anak-anak. Hal ini seringkali ditanggapi negatif oleh anak dengan merasa bahwa dirinya tidak disayangi, diremehkan bahkan dibenci. Bila hal tersebut terjadi berulang-ulang dalam jangka waktu yang cukup panjang (terutama pada masa kanak-kanak) maka akan sangat berpengaruh terhadap kemampuan individu dalam menyesuaikan diri di kemudian hari. Meskipun bagi remaja hal ini kurang berpengaruh, karena remaja sudah lebih matang tingkat pemahamannya, namun tidak menutup kemungkinan pada beberapa remaja kondisi tersebut akan membuat dirinya tertekan, cemas dan stres.
Berdasarkan kenyataan tersebut diatas maka pemenuhan kebutuhan anak akan rasa kekeluargaan harus diperhatikan. Orang tua harus terus berusaha untuk meningkatkan kualitas pengasuhan, pengawasan dan penjagaan pada anaknya; jangan semata-mata menyerahkannya pada pembantu. Jangan sampai semua urusan makan dan pakaian diserahkan pada orang lain karena hal demikian dapat membuat anak tidak memiliki rasa aman.
Lingkungan keluarga juga merupakan lahan untuk mengembangkan berbagai kemampuan, yang dipelajari melalui permainan, senda gurau, sandiwara dan pengalaman-pengalaman sehari-hari di dalam keluarga. Tidak diragukan lagi bahwa dorongan semangat dan persaingan antara anggota keluarga yang dilakukan secara sehat memiliki pengaruh yang penting dalam perkembangan kejiwaan seorang individu. Oleh sebab itu, orangtua sebaiknya jangan menghadapkan individu pada hal-hal yang tidak dimengerti olehnya atau sesuatu yang sangat sulit untuk dilakukan olehnya, sebab hal tersebut memupuk rasa putus asa pada jiwa individu tersebut.
Dalam keluarga individu juga belajar agar tidak menjadi egois, ia diharapkan dapat berbagi dengan anggota keluarga yang lain. Individu belajar untuk menghargai hak orang lain dan cara penyesuaian diri dengan anggota keluarga, mulai orang tua, kakak, adik, kerabat maupun pembantu. Kemudian dalam lingkungan keluarga individu mempelajari dasar dari cara bergaul dengan orang lain, yang biasanya terjadi melalui pengamatan terhadap tingkah laku dan reaksi orang lain dalam berbagai keadaan. Biasanya yang menjadi acuan adalah tokoh orang tua atau seseorang yang menjadi idolanya. Oleh karena itu, orangtua pun dituntut untuk mampu menunjukkan sikap-sikap atau tindakan-tindkan yang mendukung hal tersebut.
Dalam hasil interaksi dengan keluarganya individu juga mempelajari sejumlah adat dan kebiasaan dalam makan, minum, berpakaian, cara berjalan, berbicara, duduk dan lain sebagainya. Selain itu dalam keluarga masih banyak hal lain yang sangat berperan dalam proses pembentukan kemampuan penyesuaian diri yang sehat, seperti rasa percaya pada orang lain atau diri sendiri, pengendalian rasa ketakutan, toleransi, kefanatikan, kerjasama, keeratan, kehangatan dan rasa aman karena semua hal tersebut akan berguna bagi masa depannya.
2.   Lingkungan Teman Sebaya.
Begitu pula dalam kehidupan pertemanan, pembentukan hubungan yang erat diantara kawan-kawan semakin penting pada masa remaja dibandingkan masa-masa lainnya. Suatu hal yang sulit bagi remaja menjauh dari temannya, individu mencurahkan kepada teman-temannya apa yang tersimpan di dalam hatinya, dari angan-angan, pemikiran dan perasaan. Ia mengungkapkan kepada mereka secara bebas tentang rencananya, cita-citanya dan dorongan-dorongannya. Dalam semua itu individu menemukan telinga yang mau mendengarkan apa yang dikatakannya dan hati yang terbuka untuk bersatu dengannya.
Dengan demikian pengertian yang diterima dari temanya akan membantu dirinya dalam penerimaan terhadap keadaan dirinya sendiri, ini sangat membantu diri individu dalam memahami pola-pola dan ciri-ciri yang menjadikan dirinya berbeda dari orang lain. Semakin mengerti ia akan dirinya maka individu akan semakin meningkat kebutuhannya untuk berusaha untuk menerima dirinya dan mengetahui kekuatan dan kelemahannya. Dengan demikian ia akan menemukan cara penyesuaian diri yang tepat sessuai dengan potensi yang dimilikinya.
3.    Lingkungan Sekolah.
Sekolah mempunyai tugas yang tidak hanya terbatas pada masalah pengetahuan dan informasi saja, akan tetapi juga mencakup tanggungjawab pendidikan secara luas. Demikian pula dengan guru, tugasnya tidak hanya mengajar, tetapi juga berperan sebagai pendidik yang menjadi pembentuk masa depan, ia adalah langkah pertama dalam pembentukan kehidupan yang menuntut individu untuk menyesuaikan dirinya dengan lingkungan.
Pendidikan modern menuntut guru atau pendidik untuk mengamati perkembangan individu dan mampu menyusun sistem pendidikan sesuai dengan perkembangan tersebut. Dalam pengertian ini berarti proses pendidikan merupakan penciptaan penyesuaian antara individu dengan nilai-nilai yang diharuskan oleh lingkungan menurut kepentingan perkembangan dan spiritual individu. Keberhasilan proses ini sangat bergantung pada cara kerja dan metode yang digunakan oleh pendidik dalam penyesuaian tersebut. Jadi disini peran guru sangat berperan penting dalam pembentukan kemampuan penyesuaian diri individu.
Pendidikan remaja hendaknya tidak didasarkan atas tekanan atau sejumlah bentuk kekerasan dan paksaan, karena pola pendidikan seperti itu hanya akan membawa kepada pertentangan antara orang dewasa dengan anak-anak sekolah. Jika para remaja merasa bahwa mereka disayangi dan diterima sebagai teman dalam proses pendidikan dan pengembangan mereka, maka tidak akan ada kesempatan untuk terjadi pertentangan antar generasi.


BAB III
Penutup
A.    Kesimpulan.
Seperti yang sudah kita bahas sebelumnya bahwa masa remaja adalah masa yang rentan dan masih mudah terpengaruh oleh lingkungan jadi kalau lingkungan remaja itu baik maka perkembangannya juga akn baik dan juga sebaliknya.
B.     Saran.
Sebagai orang tua kita seharusnya tidak membatasi pergaulan remaja kita supaya perkembangannya baik tapi kita juga tidak membiarkannya begitu saja dan tetap harus mengontrol pergaulannya dan mengarahkannya pada pergaulan yang baik.


Daftar Pustaka

Mutadin, Zainun. 2002. “Perkembangan Psikologi Remaja”. http://sadiyahuinpai4e.blogspot.com diakses 22 Maret 2011.

2008. “Penyesuaian Diri Remaja”. http://downixs.wordpress.com diakses 22 Maret 2011.