Nusyuz, Ila’ Dan Li’an

Rabu, 15 Juni 2011
BAB I
Pendahuluan
1.1. Latar belakang masalah.
Kebahagiaan dalam keluarga merupakan keinginan yang diharapkan oleh semua manusia, dan semua itu akan terasa disaat sebuah keluarga menjalankan apa yang menjadi kewajiban dan hak masing – masing baik suami ataupun istri dalam sebuah keluarga. Oleh karena itu, segala tingkah laku, gerak langkah, selalu berorientasi kearah itu walaupun dalam aplikasinya memakai cara yang berlawanan dengan tujuan tadi.
Namun pada kenyataannya tidak semua keluarga selalu dalam keadaan tenang dan menyenangkan. Ada kalanya kehidupannya begitu ruwet dan memusingkan. Hal tersebut terjadi karena peran dan fungsi mereka khususnya bagi suami atau istri sudah tidak melaksanakan apa yang menjadi tanggung jawab mereka masing – masing.
Terlepas dari kewajiban dan hak seorang istri terhadap suami atau sebaliknya, penulis pada kesempatan kali ini akan membahas mengenai nusyuz, ila’, dan  li’an. Ketiga masalah diatas akan terjadi disaat suami atau istri tidak melaksanakan apa yang menjadi kewajiban dan hak mereka masing - masing dalam sebuah keluarga.

1.2. Rumusan masalah.
a.       Apa yang dimaksud nusyuz, ila’, dan  li’an?
b.      Apa penyebab nusyuz, ila’, dan  li’an?
c.       Bagaimana hukumnya nusyuz, ila’, dan  li’an?

1.3. Tujuan.
a.       Untuk memenuhi tugas mata kuliah Muamalah.
b.      Untuk memberikan penjelasan menyeluruh mengenai nusyuz, ila’, dan  li’an.
c.       Untuk mengetahui hal-hal apa saja yang menyebabkan nusyuz, ila’, dan  li’an.
d.      Hukumnya jika seseorang melakukan nusyuz, ila’, dan li’an menurut islam.

1.4. Manfaat.
a.       Memberikan penjelasan pada pembaca mengenai apa itu nusyuz, ila’, dan  li’an.
b.      Memberikan informasi pada pembaca apa saja penyebab nusyuz, ila’, dan  li’an.
c.       Memberikan informasi pada pembaca tantang hukum-hukum melakukan nusyuz, ila’, dan  li’an.
d.      Memberikan solusi bagi permasalahan nusyuz, ila’, dan  li’an.

BAB II
Pembahasan
2.1. Kajian Teori
a.      Nusyuz dan sanksinya
Nusyûz adalah pelanggaran istri terhadap perintah dan larangan suami secara mutlak. Jika seorang istri tidak melakukan kewajiban semisal shalat, atau melakukan keharaman seperti tabarruj (berpenampilan yang menarik perhatian lelaki lain), maka seorang suami wajib memerintahkan istrinya untuk melaksanakan kewajiban dan meninggalkan keharaman tersebut. Jika tidak mau, berarti dia telah melakukan tindakan nusyûz. Dalam kondisi seperti ini, seorang suami berhak untuk menjatuhkan sanksi kepada istrinya. Dia juga tidak wajib memberikan nafkah kepada istrinya. Jika istrinya telah kembali, atau tidak nusyûz lagi, maka sang suami tidak berhak lagi untuk menjatuhkan sanksi kepada istrinya, dan pada saat yang sama dia pun wajib memberikan nafkah istrinya.
Ketika syariat telah menetapkan hak seorang suami secara umum untuk memerintahkan istrinya melakukan sesuatu, atau melarangnya, syariat juga telah men-takhshîsh beberapa hal dari keumuman tersebut. Misalnya, syariat membolehkan seorang wanita untuk melakukan transaksi bisnis, mengajar, melakukan silaturahmi, pergi ke masjid, menghadiri ceramah, seminar, ataupun kajian. Dengan adanya takhshîsh ini, konteks nusyûz tersebut bisa lebih dideskripsikan sebagai bentuk pelanggaran seorang istri terhadap perintah dan larangan suami, yang berkaitan dengan kehidupan khusus (al-hayâh al-khâshah), dan kehidupan suami-istri (al-hayâh az-zawjiyyah).
Karena itu, di luar semua itu tidak dianggap nusyûz. Artinya, hal-hal yang berkaitan dengan kehidupan umum (al-hayâh al-'ammâh), seperti jual-beli di pasar, atau belajar di masjid, dan hal-hal yang tidak ada kaitannya dengan kehidupan suami istri tidak termasuk dalam kategori nusyûz. Jika suami memerintahkan istrinya menyiapkan makanan untuknya, menutup aurat di depan laki-laki lain, memerintahkannya shalat, puasa, mengenakan pakaian tertentu, atau tidak membuka salah satu jendela, tidak menjawab orang yang mengetuk pintu, tidak duduk di beranda rumah, mencuci pakaian suaminya, keluar rumah dan lain-lain yang berkaitan dengan kehidupan khusus, atau kehidupan suami-istri, maka syariat telah memerintahkan seorang istri untuk menaati suaminya dalam perkara-perkara tersebut. Jika dia melanggar dan tidak menaatinya, maka dia layak disebut melakukan nusyûz, dan kepadanya berlaku hukum nusyûz.
Dalam hal-hal yang tidak terkait dengan kehidupan khusus (al-hayâh al-khâshah) dan kehidupan suami-istri (al-hayâh az-zawjiyyah), maka suami hanya berkewajiban untuk memerintahkan istrinya, atau melarangnya; jika istrinya tidak mau menaatinya, maka tidak bisa dianggap nusyûz. Jika seorang suami, misalnya, memerintahkan istrinya menunaikan ibadah haji, membayar zakat, berjihad, bergabung dengan salah satu partai (organisasi), atau melarang istrinya mengunjungi kedua orangtuanya, bersilaturahmi dengan kerabatnya, membuka kios untuk berdagang, datang ke masjid untuk shalat berjamaah, menghadiri seminar, tablig akbar, masîrah dan sebagainya, yang berkaitan dengan kehidupan umum (al-hayâh al-'ammâh), dan tidak berkaitan dengan kehidupan khusus atau kehidupan suami-istri, maka seorang istri tidak wajib menaati suaminya dalam perkara-perkara tersebut; sekalipun tetap wajib meminta izin kepada suaminya. Hanya saja, adanya izin tersebut tidak mengikat.  Nah, ketika seorang istri tidak menaati suaminya dalam hal seperti ini, maka dia pun tidak bisa dianggap nusyûz.
Mengenakan jilbâb (sejenis jubah/abaya) sebagai bentuk pakaian Muslimah di luar rumah  merupakan bagian dari kehidupan umum, bukan kehidupan khusus; seperti halnya silaturahim, haji, zakat, atau bergabung dengan partai. Semuanya itu hukumnya wajib bagi wanita. Dalam hal ini, suami tidak berkewajiban untuk memaksa istrinya agar melaksanakan kewajiban tersebut, sepanjang semuanya itu merupakan kehidupan umum dan tidak berkaitan dengan kehidupan suami-istri. Suami memang tidak berkewajiban untuk memerintahkan istrinya, atau melarangnya untuk melaksanakan atau meninggalkannya. Jika suaminya memerintahkan atau melarangnya, sementara istrinya tetap tidak mau untuk menaatinya, maka istrinya tidak boleh dianggap nusyûz, dan suaminya pun tidak berhak untuk menjatuhkan sanksi atas pelanggaran istrinya dalam kasus seperti ini. 
Akan tetapi, kalau berkaitan dengan kehidupan khusus, misalnya seorang istri keluar (di ruang tamu) menemui tamu dengan pakaian kerja, dengan rambut terurai, dengan kedua lengan dan bahu terbuka, yang berarti telah melakukan tabarruj, atau berpakaian yang dianggap kurang pantas oleh masyarakat, maka suaminya wajib memerintahkan istrinya atau melarangnya dari hal-hal tersebut. Sebab, semua itu berkaitan dengan kehidupan khusus. Di dalam kehidupan khusus seperti itu dia hanya diperbolehkan untuk berpakain kerja atau membuka auratnya di hadapan mahram-nya.
Karena itu, bisa saja terjadi, seorang istri keluar rumah dengan menutup seluruh auratnya, tetapi tidak dalam bentuk jilbâb, sekalipun suaminya telah memerintahkannya agar berpakaian dalam bentuk jilbâb. Pelanggaran tersebut tidak termasuk dalam kategori nusyûz. Bisa jadi pula seorang istri tetap keluar rumah untuk menghadiri kajian di masjid, atau seminar di kampus, sekalipun suaminya telah melarangnya untuk melakukan kegiatan tersebut. Pelanggaran tersebut juga tidak dianggap nusyûz. Meski demikian, jika di rumah ada kewajiban lain, misalnya mengurus anak, menyiapkan pakaian, makan dan minum suami, maka tidak seharusnya kewajiban tersebut diabaikan, sehingga dia melakukan taqshîr (kelalaian). Dalam konteks seperti ini istri tersebut memang tidak dianggap nusyûz, namun tetap dinyatakan melakukan taqshîr.
·      Sanksi Nusyûz
Sanksi nusyûz tersebut telah dijelaskan oleh Pembuat syariat. Allah Swt. berfirman:
]وَاللاَّتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلاَ تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيلاً[
Wanita-wanita yang kalian khawatirkan nusyûz-nya, maka nasihatilah mereka, tinggalkanlah  mereka di tempat tidurnya, dan pukullah mereka (dengan pukulan yang tidak membekas). Jika mereka menaati kalian maka janganlah kalian mencari-cari alasan untuk menghukum mereka. (QS an-Nisa' [4]: 34).
Jadi, bentuk sanksi tersebut adalah:
1)      Menasihatinya dan memberikan peringatan kepadanya.
2)      Meninggalkannya di tempat tidur.
3)      Memukulnya dengan pukulan yang tidak membekas.

b.      Ila’ dan sanksinya
Ila’ menurut bahasa artinya bersumpah takkan melakukan sesuatu, sedangkan menurut syara’ yang dimaksud ila’ ialah bersumpah takkan menyetubuhi istri.
Menurut Hakim dalam bukunya hukum perkawinan islam ( 2000 : 180 ) ila adalah sumpah suami untuk tidak melakukan hubungan seksual dengan istrinya. Perbuatan ini adalah kebiasaan jaman jahiliyah untuk menyusahkan istrinya selama satu tahun atau dua tahun. Perbuatan ini tentu akan menyiksa istrinya dan menjadikan statusnya menjadi tidak jelas, yaitu hidup tanpa suami, namun juga tidak dicerai.
Menurut Rasjid dalam bukunya fiqih islam ( 1996 : 410 ) ila artinya sumpah suami tidak akan mencampuri istrinya dalam masa lebih dari empat bulan atau tidak menyebutkan jangka waktunya.
Apabila seorang suami bersumpah sebagaimana sumpah tersebut, hendaklah ditunggu selama empat bulan. Kalau dia kembali baik kepada istrinya, sebelum sampai empat bulan, dia diwajibkan membayar denda sumpah ( kaparat ) saja. Tetapi sampai empat bulan dia tidak kembali baik dengan istrinya, hakim berhak menyuruhnya memilih dua perkara, yaitu membayar kaparat sumpah serta berbuat baik pada istrinya, atau menalak istrinya. Kalau suami itu tidak mau menjalani salah satu dari kedua perkara tersebut, hakim berhak menceraikan mereka secara terpaksa.
Sebagian ulama berpendapat, apabila sampai empat bulan suami tidak kembali ( tidak campur ), maka dengan sendirinya kepada istri itu jatuh talak bain, tidak perlu dikemukakan kepada hakim.
Firman allah SWT dalam Q.S Al-baqarah ayat 226-227
.لِّلَّذِينَ يُؤْلُونَ مِن نِّسَآئِهِمْ تَرَبُّصُ أَرْبَعَةِ أَشْهُرٍ فَإِنْ فَآءُو فَإِنَّ اللهَ غَفُورُُ رَّحِيمُُ
وَإِنْ عَزَمُوا الطَّلاَقَ فَإِنَّ اللهَ سَمِيعٌ عَلِيمُُ
Artinya :
“ Kepada orang-orang yang mengila’ istrinya diberi tangguh empat bulan ( lamanya ) kemudian jika mereka kembali ( kepada istrinya ), maka sesungguhnya Allah SWT maha pengampun lagi maha penyayang. Dan jika mereka berazam ( bertetap hari untuk ) talak, maka sesungguhnya Allah SWT maha mendengar lagi maha mengetahui.

·      Cara kembali dari sumpah Ila’
Mengenai cara kembali dari sumpah ila’ yang tersebut dalam ayat di atas ada tiga pendapat :
1)      Kembali dengan mencampuri istrinya itu, berarti mencabut sumpah dengan melanggar (berbuat) sesuatu yang menurut sumpahnya tidak akan diperbuatnya. Apabila habis masa empat bulan ia tidak mencampuri istrinya itu, maka dengan sendirinya kepada istrinya itu jatuh talaq bain.
2)      Kembali dengan campur jika tidak ada halangan. Tetapi jika ada halangan boleh dengan lisan atau dengan niat saja.
3)      Cukup kembali dengan lisan, baik ketika berhalangan atau tidak.
Ila’ ini pada jaman jahiliyah berlaku menjadi talak, kemudian diharamkan oleh agama islam.
Menurut sebuah riwayat dari asy-sya’bi yang dia terima dari masruq dari aisyah, kata beliau :
“Rasulullah SAW pernah juga mengila’ dan mengharamkan ( diri ) terhadap istri-istrinya, lalu yang haram beliau jadikan halal, sedang untuk ( menembus ) sumpahnya beliau membayar kiparat”.
Dijaman jahiliyah laki-laki sudah terbiasa bersumpah untuk tidak menyentuh istrinya setahun atau bahkan dua tahun. Dan kebanyakan dengan tujuan menyiksa Istri mereka dibiarkan begitu saja tidak diurusi. Jadi bersuami tidak, diceraikan juga tidak. Maka dengan rahmat-Nya, Allah SWT hendak membatasi perbuatan ini yang tidak peri kemanusiaan, lalu diberikan tempo selama empat bulan. Biarlah selama empat bulan itu laki-laki melampiaskan kejengkelannya sepuas-puasnya, barang kali dia kemudian malah menjadi sadar kembali. Kalau ditengah itu atau diakhir masa penangguhan itu dia sadar, maka boleh dia melanggar sumpahnya dengan menggauli istrinya, lalu bayarlah kiparat buat penembus sumpahnya. Kalau tidak, maka ia wajib menceraikan istrinya.
Apabila seorang suami telah bersumpah takkan mendekati istrinya. Akan tetapi selagi belum habis masa empat bulan, dia telah menyetubuhinya, maka dengan sendirinya ila’ pun selesailah urusanya. Laki-laki itu tinggal membayar kiparat sumpah.
c.       Li’an dan sanksinya
Kata li’an menurut bahasa berarti alla’nu bainatsnaini fa sha’idan (saling melaknat yang terjadi di antara dua orang atau lebih). Sedang, menurut istilah syar’i, li’an ialah sumpah dengan redaksi tertentu yang diucapkan suami bahwa isterinya telah berzina atau ia menolak bayi yang lahir dari isterinya sebagai anak kandungnya, dan kemudian sang isteri pun bersumpah bahwa tuduhan suaminya yang dialamatkan kepada dirinya itu bohong.
Apabila seorang laki-laki menuduh isterinya berbuat serong dengan laki-laki lain, kemudian isterinya menganggap bahwa tuduhannya bohong, maka pihak suami harus dijatuhi hukuman dera, kecuali dia mempunyai bukti yang kuat atau melakukan li’an.
“Dan orang-orang yang menuduh isterinya (berzina), padahal mereka tidak ada mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri, Maka persaksian orang itu ialah empat kali bersumpah dengan nama Allah, sesungguhnya dia adalah termasuk orang-orang yang benar. Dan (sumpah) yang kelima: bahwa la’nat Allah atasnya, jika dia termasuk orang-orang yang berdusta. Istrinya itu dihindarkan dari hukuman oleh sumpahnya empat kali atas nama Allah Sesungguhnya suaminya itu benar-benar termasuk orang-orang yang dusta. Dan (sumpah) yang kelima: bahwa laknat Allah atasnya jika suaminya itu termasuk orang-orang yang benar.” (QS An-Nuur: 6-9).
Dari Ibnu Abbas r.a bahwa Hilal bin Umayyah r.a pernah menuduh isterinya berzina dengan Syarik bin Sahma’ di hadapan Nabi saw. Kemudian Nabi saw bersabda, “Kamu harus dapat membuktikan, atau (kalau tidak) hukuman had menimpa punggungmu.” Lalu dia berkata, “Ya Rasulullah, jika seorang di antara kami telah melihat seorang laki-laki berada di atas isterinya, masihkah dituntut untuk pergi mencari bukti?” maka Beliau pun bersabda, “Kamu harus dapat membuktikan, dan jika tidak maka hukuman had di punggungmu.” Hilal berkata, “Demi dzat yang telah mengutusmu dengan membawa kebenaran, sesungguhnya saya benar-benar jujur. Maka saya harap sudi kiranya Allah menurunkan ayat Qur’an yang bisa membebaskan punggungku dari hukum dera.” Maka turunlah Malaikat Jibril dan menyampaikan wahyu kepada Beliau, WALLADZIINA YARMUUNA AZWAAJAHUM (dan orang-orang yang menuduh istri-isterinya) sampai padat IN KAANA MINASH SHAADIQIN (jika suaminya itu termasuk orang-orang yang benar). Kemudian Nabi saw beranjak dari tempatnya sambil menyuruh Hilal menemui isterinya. Kemudian Hilal datang (lagi) kepada Beliau, lalu memberikan kesaksian, lantas Nabi saw bersabda, “Sesungguhnya Allah tahu bahwa seorang di antara kamu berdua ini ada yang bohong. Adakah di antara kalian berdua ini yang mau bertaubat?” Kemudian isterinya bangun lalu memberikan kesaksiannya. Maka tatkala ia hendak mengucapkan sumpah yang kelima, maka orang-orang menghentikannya (agar tidak jadi mengucapkan sumpah kelima), dan mereka berkata, “Sesungguhnya perempuan ini wajib dijatuhi hukuman.”
Ibnu Abbas berkata, “Lalu ia (isterinya itu) pelan-pelan mundur hingga kami menduga ia akan segera kembali.” Kemudian ia berkata, “Aku tidak akan membuat malu kaumku sepanjang hari.” Kemudian terus berlalu begitu. Lantas Nabi saw bersabda, “Perhatikan dia, jika dia datang dengan membawa bayi yang juling matanya, besar pinggulnya, dan kedua betisnya besar juga maka ia(bayi itu) milik Syarik bin Sahma’.” Ternyata dia datang persis yang disabdakan Nabi saw. Kemudian Beliau bersada, “Kalaulah tidak ada ketetapan di dalam Kitabullah, sudah barang tentu saya punya urusan dengan dia.”
·      Kekuatan Hukum Li’an
Apabila suami isteri melakukan mula’anah atau li’an, maka berlakukan pada keduanya hukum-hukum berikut ini :
1.      Keduanya harus diceraikan, berdasarkan hadist:
Dari Ibnu Umar r.a , ia berkata, “Nabi saw memutuskan hukum di antara seorang suami dan isteri dari kaum Anshar, dan menceraikan antara keduanya.”
2.      Keduanya haram ruju’ untuk selama-lamanya.
Dari Sahl bin Sa’d ra, ia berkata, “Telah berlaku sunnah Nabi saw tentang suami isteri yang saling bermula’anah di mana mereka diceraikan antara keduanya, kemudian mereka tidak (boleh) ruju’ buat selama-lamanya.”
3.      Wanita yang bermula’anah berhak memiliki mahar
Dari Ayyub bin Sa’id bin Jubair, ia bercerita: Saya pernah bertanya kepada Ibnu Umar ra, “(Wahai Ibnu Umar), bagaimana kedudukan seorang suami yang menuduh isterinya berbuat serong?” Jawab Ibnu Umar, “Nabi saw pernah menceraikan antara dua orang yang bersaudara (yaitu suami isteri) dari Bani ’Ajlan, dan Beliau bersabda (kepada keduanya), “Allah mengetahui bahwa seorang di antara kalian berdua pasti berbohong, karena itu adakah di antara kalian yang mau bertaubat?” Ternyata mereka berdua enggan (memenuhi tawaran Beliau). Nabi bersabda lagi, “Allah mengetahui bahwa salah seorang di antara kalian berdua pasti bohong, karena itu, adakah di antara kalian yang mau bertaubat?” Ternyata mereka enggan, lalu Nabi pun bersabda, “Allah mengetahui bahwa salah seorang di antara kalian berdua pasti bohong, karena itu adakah di antara kalian yang mau bertaubat?” Namun mereka berdua enggan (untuk memenuhi tawaran Beliau). Maka selanjutnya Beliau menceraikan antara keduanya.” Ayyub berkata, “Kemudian Amr bin Dinar mengatakan kepadaku, ‘Sesungguhnya di dalam hadist tersebut ada sebagian yang saya perhatikan belum engkau sampaikan, yaitu laki-laki yang bermula’anah itu menanyakan, “Mana hartaku (maharku)?” Dijawab (oleh Nabi saw), “Tidak ada harta (mahar) bagimu. Jika kamu jujur, berarti kamu sudah pernah bercampur dengannya; jika kamu bohong, maka ia (mahar) itu kian jauh darimu.”
4.      Anak yang lahir dari isteri yang bermula’anah, harus diserahkan kepada sang isteri (ibunya).
Dari Ibnu Umar r.a ia berkata, “Sesungguhnya Nabi saw pernah memutuskan untuk mula’anah antara seorang suami dengan isterinya kemudian ia (suami) dipisahkan dari anaknya, lantas Beliau menceraikan antara mereka berdua, kemudian anak itu Rasulullah serahkan kepada isterinya.”
5.      Isteri yang bermula’anah berhak menjadi ahli waris anaknya dan begitu juga sebaliknya.
Dari Ibnu Syihab dalam hadist Sahl bin Sa’ad, ia berkata “Menurut Sunnah Nabi saw, sesudah suami isteri yang bermula’anah dicerai, padahal sang isteri hamil maka anaknya dinisbatkan kepada ibunya. Kemudian sunnah Beliau saw berlaku mengenai hak warisnya, dimana ia (ibu tersebut) berhak menjadi ahli waris anaknya dan anaknya pun berhak menjadi ahli warisnya sesuai apa yang telah Allah tetapkan untuknya.”

2.2. Metodelogi
Menggunakan metodelogi Penelitian Deskriptif yang merupakan penelitian yang dilakukan untuk mengetahui nilai variabel mandiri, baik satu variabel atau lebih (independen) tanpa membuat perbandingan, atau penghubungan dengan variabel yang lain.

2.3. Temuan dan pembahasan
a.      Nusyûz
·         Nusyûz adalah pelanggaran istri terhadap perintah dan larangan suami secara mutlak.
·         Hal hal yang menyebabkan nusyus adalah misalnya seorang istri tidak melakukan kewajiban semisal shalat, atau melakukan keharaman seperti tabarruj (berpenampilan yang menarik perhatian lelaki lain), maka seorang suami wajib memerintahkan istrinya untuk melaksanakan kewajiban dan meninggalkan keharaman tersebut. Jika tidak mau, berarti dia telah melakukan tindakan nusyûz.  Tetapi, hal-hal yang berkaitan dengan kehidupan umum (al-hayâh al-'ammâh), seperti jual-beli di pasar, atau belajar di masjid, dan hal-hal yang tidak ada kaitannya dengan kehidupan suami istri tidak termasuk dalam kategori nusyûz.
·         Menurut QS an-Nisa' [4]: 34, bentuk sanksi dari nusyus adalah:
a)      menasihatinya dan memberikan peringatan kepadanya;
b)      meninggalkannya di tempat tidur;
c)      memukulnya dengan pukulan yang tidak membekas.
b.      Ila
·         Ila adalah sumpah suami untuk tidak melakukan hubungan seksual dengan istrinya.
·         Hal hal yang menyebabkan ila’ adalah ketika suami memberikan sumpah kepada istrinya untuk tidak mencampuri istrinya lagi untuk beberapa saat, (waktu) bisa ditentukan atau bisa tidak.
·         Dalam Q.S Al-baqarah ayat 226-227. Cara untuk kembali dari sumpah ila’ adalah:
a)      Kembali dengan mencampuri istrinya itu, berarti mencabut sumpah dengan melanggar (berbuat) sesuatu yang menurut sumpahnya tidak akan diperbuatnya. Apabila habis masa empat bulan ia tidak mencampuri istrinya itu, maka dengan sendirinya kepada istrinya itu jatuh talaq bain.
b)      Kembali dengan campur jika tidak ada halangan. Tetapi jika ada halangan boleh dengan lisan atau dengan niat saja.
c)      Cukup kembali dengan lisan, baik ketika berhalangan atau tidak.
c.       Li’an
·         li’an ialah sumpah dengan redaksi tertentu yang diucapkan suami bahwa isterinya telah berzina atau ia menolak bayi yang lahir dari isterinya sebagai anak kandungnya, dan kemudian sang isteri pun bersumpah bahwa tuduhan suaminya yang dialamatkan kepada dirinya itu bohong.
·         Hal yang menyebabkan li’an ialah tuduhan suami kepada isterinya bahwa isterinya berbuat serong dengan laki-laki lain, tanpa adanya bukti yang konkrit.
·         Hukum dari li’an adalah:
a)      Keduanya harus diceraikan, berdasarkan hadist:
b)      Keduanya haram ruju’ untuk selama-lamanya.
c)      Wanita yang bermula’anah berhak memiliki mahar
d)     Anak yang lahir dari isteri yang bermula’anah, harus diserahkan kepada sang isteri (ibunya).
e)      Isteri yang bermula’anah berhak menjadi ahli waris anaknya dan begitu juga sebaliknya.

BAB III
Penutup
3.1   Kesimpulan
Dari beberapa sample penjelasan yang terdapat dalam kajian teori tentang nusyuz, ila dan lian. Maka akan diperoleh suatu temuan yang telah dipaparkan dalam pembahasan diatas mengenai nusyuz, ila dan lian. Nusyuz merupakan pelanggaran yang dilakukan istri terhadap perintah suami. Dalam hal ini perintah suami yang di anggap nusyus dikategorikan dalam hal khusus (perintah dalam lingkup keluarga atau suami istri), bukan hal umum (perintah dalam lingkungan masyarakat). Ila’ merupakan sumpah suami yang tidak akan mencampuri istrinya unt beberapa bulan dan dalam ila, seorang suami dapat rujuk kembali dengan istrinya. Sedangkan lian adalah tuduhan suami bahwa istrinya selingkuh dengan laki-laki lain tetapi harus di imbangi dengan bukti yang kuat.
3.2  Saran
Setiap manusia pasti mempunyai sisi baik dan buruk dalam hidupnya. Dan pada saat manusia sudah dalam kondisi berumahtangga mereka harus membaurkan semua sisi baik-buruk tersebut menjadi satu dan menerima segala kekurangan dan kelebihan dari pasangan masing-masing dengan landasan yang kokoh yaitu kepercayaan dan saling memahami. Jika semua hal diatas bisa berjalan beriringan maka kemungkinan akan timbulnya nusyuz, ila dan lian akan semakin kecil atau bahkan tidak pernah ada.

Referensi
Media, Fani. 2007. “Pengertian Li’an dan Kasus Li’an”. http://alislamu.com/  diakses 31 Mei 2011.
Rahman, Abdul. 1996. “Perkawinan dalam syariat islam”. Jakarta : Rineka cipta.
Umar Esa, Kamil. 2011. “Syarat-Syarat Ila’”. http://www.pta-ambon.go.id/ diakses 31 Mei 2011.

Lingkungan Pendidikan Islam

Kamis, 02 Juni 2011

BAB I
Pendahuluan
A. Latar Belakang Masalah
Lingkungan yang nyaman dan mendukung terselenggaranya suatu pendidikan amat dibutuhkan dan turut berpengaruh terhadap pencapaian tujuan pendidikan yang diinginkan. Demikian pula dalam sistem pendidikan Islam, lingkungan harus diciptakan sedemikian rupa sesuai dengan karakteristik pendidikan Islam itu sendiri.
Dalam literatur pendidikan, lingkungan biasanya disamakan dengan institusi atau lembaga pendidikan. Meskipun kajian ini tidak dijelaskan dalam al-Qur’an secara eksplisit, akan tetapi terdapat beberapa isyarat yang menunjukkan adanya lingkungan pendidikan tersebut. Oleh karenanya, dalam kajian pendidikan Islam pun, lingkungan pendidikan mendapat perhatian.
Untuk mengetahui lebih jelas tentang apa dan bagaimana hakikat lingkungan pendidikan Islam, maka perlu dilakukan kajian yang komprehensif dan mendalam tentang lingkungan tersebut dalam perspektif filsafat pendidikan Islam. Makalah ini sengaja disusun sebagai tugas filsafat pendidikan islam yang selanjutnya akan didiskusikan dan disempurnakan dalam forum diskusi Mahasiswa Program Tarbiyah STAIS Kutai Timur semester IV. Untuk itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat konstruktif dari pembaca sehingga apa yang diharapkan dapat terpenuhi dengan baik.

B. Rumusan Masalah
a.    Apakah pengertian Lingkungan Pendidikan Islam?
b.    Apa saja macam-macam lingkungan pendidikan islam?
c.    Bagaimanakah analisis filosofis lingkungan pendidikan Islam?

BAB II

 Lingkungan Pendidikan Islam

A.  Pengertian Lingkungan Pendidikan Islam
Lingkungan pendidikan adalah suatu institusi atau kelembagaan di mana pendidikan itu berlangsung. Lingkungan tersebut akan mempengaruhi proses pendidikan yang berlangsung.[1] Dalam beberapa sumber bacaan kependidikan, jarang dijumpai pendapat para ahli tentang pengertian lingkungan pendidikan Islam. Menurut Abuddin Nata, kajian lingkungan pendidikan Islam (tarbiyah Islamiyah) biasanya terintegrasi secara implisit dengan pembahasan mengenai macam-macam lingkungan pendidikan. Namun demikian, dapat dipahami bahwa lingkungan pendidikan Islam adalah suatu lingkungan yang di dalamnya terdapat ciri-ciri ke-Islaman yang memungkinkan terselenggaranya pendidikan Islam dengan baik.[2]
B. Macam – Macam Lingkungan Pendidikan
Lingkungan pendidikan sangat dibutuhkan dalam proses pendidikan, sebab lingkungan pendidikan tersebut berfungsi menunjang terjadinya proses belajar mengajar secara aman, nyaman, tertib, dan berkelanjutan. Dengan suasana seperti itu, maka proses pendidikan dapat diselenggarakan menuju tercapainya tujuan pendidikan yang diharapkan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pendidikan Islam mengenal adanya rumah, masjid, kutab, dan madrasah sebagai tempat berlangsungnya pendidikan, atau disebut juga sebagai lingkungan pendidikan.
Pada perkembangan selanjutnya, institusi pendidikan ini disederhanakan menjadi tiga macam yaitu, keluarga disebut juga sebagai salah satu dari satuan pendidikan luar sekolah ebagai lembaga pendidikan informal, sekolah sebagai lembaga pendidikan formal, dan masyarakat sebagai lembaga pendidikan non formal. Ketiga bentuk lembaga pendidikan tersebut akan berpengaruh terhadap perkembangan dan pembinaan kepribadian peserta didik.[3]

1.    Lingkungan Keluarga
Keluarga merupakan bagian dari lembaga pendidikan informal. Selain itu, kelurga juga disebut sebagai satuan pendidikan luar sekolah. keluarga memiliki peranan penting dalam mendidik setiap anak. Dalam hal ini, orang tua bertindak sebagai pendidik, dan si anak bertindak sebagai anak didik. Oleh karena itu, keluarga mesti menciptakan suasana yang edukatif sehingga anak didiknya tumbuh dan berkembang menjadi manusia sebagaimana yang menjadi tujuan ideal dalam pendidikan Islam.
Agar keluarga mampu menjalankan fungsinya dalam mendidik anak secara Islami, maka sebelum dibangun keluarga perlu dipersiapkan syarat-syarat pendukungnya. Seperti memberikan syarat yang bersifat psikologis, seperti saling mencintai, kedewasaan yang ditandai oleh batas usia tertentu dan kecukupan bekal ilmu dan pengalaman untuk memikul tanggung jawab. yang di dalam al-Qur’an disebut baligh. Selain itu, kesamaan agama juga menjadi syarat terpenting. Selanjutnya, juga persyaratan kesetaraan (kafa’ah) dalam perkawinan baik dari segi latar belakang agama, sosial, pendidikan dan sebagainya. Dengan memperhatikan persyaratan tersebut, maka diharapkan akan tercipta keluarga yang mampu menjalankan tugasnya salah satu di antaranya mendidik anak-anaknya agar menjadi generasi yang tidak lemah dan terhindar dari api neraka. Allah SWT berfirman:
Surat al-Tahrim/66 ayat 6:
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.
Karena besarnya peran keluarga dalam pendidikan, Sidi Gazalba, seperti yang dikutip Ramayulis, mengkategorikannya sebagai lembaga pendidikan primer, utamanya untuk masa bayi dan masa kanak-kanak sampai usia sekolah. Dalam lembaga ini, sebagai pendidik adalah orang tua, kerabat, famili, dan sebagainya. Orang tua selain sebagai pendidik, juga sebagai penanggung jawab.
Oleh karena itu, orang tua dituntut menjadi teladan bagi anak-anaknya, baik berkenaan dengan ibadah, akhlak, dan sebagainya. Dengan begitu, kepribadian anak yang Islami akan terbentuk sejak dini sehingga menjadi modal awal dan menentukan dalam proses pendidikan selanjutnya yang akan ia jalani.
Untuk memenuhi harapan tersebut, al-Qur’an juga menuntun keluarga agar menjadi lingkungan yang menyenangkan dan membahagiakan, terutama bagi anggota keluarga itu sendiri. Al-Qur’an memperkenalkan konsep kelurga sakinah, mawaddah, wa rahmah. Firman Allah SWT :

Artinya: Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir. (Q.S. ar-Rum/30: 21)
Menurut Salman Harun, kata sakinah dalam ayat di atas diungkapkan dalam rumusan li taskunu (agar kalian memperoleh sakinah) yang mengandung dua makna: kembali dan diam. Kata itu terdapat empat kali dalam al-Qur’an, tiga di antaranya membicakan malam. Pada umumnya, malam merupakan tempat kembalinya suami ke rumah untuk menemukan ketenangan bersama istrinya. Saat itu, akan tercipta ketenangan sehingga istri sebagai tempat memperoleh penyejuk jiwa dan raga. Sementara mawaddah adalah cinta untuk memiliki dengan segenap kelebihan dan kekuarangannya sehingga di antara suami istri saling melengkapi. Sedangkan rahmah berarti rasa cinta yang membuahkan pengabdian. Kata ini memiliki konotasi suci dan membuahkan bukti, yaitu pengabdian antara suami istri yang tidak kunjung habis. Ketiga istilah inilah yang menjadi ikon keluarga bahagia dalam Islam, yaitu adanya hubungan yang menyejukkan (sakinah), saling mengisi (mawaddah), dan saling mengabdi (rahmah) antara suami dan istri.
Dengan demikian, keluarga harus menciptakan suasana edukatif terhadap anggota keluarganya sehingga tarbiyah Islamiyah dapat terlaksana dan menghasilkan tujuan pendidikan sebagaimana yang diharapkan.
2.  Lingkungan Sekolah
Sekolah atau dalam Islam sering disebut madrasah, merupakan lembaga pendidikan formal, juga menentukan membentuk kepribadian anak didik yang Islami. Bahkan sekolah bisa disebut sebagai lembaga pendidikan kedua yang berperan dalam mendidik peserta didik. Hal ini cukup beralasan, mengingat bahwa sekolah merupakan tempat khusus dalam menuntut berbagai ilmu pengetahuan.
Abu Ahmadi dan Nur Uhbiyati menyebutkan bahwa disebut sekolah bila mana dalam pendidikan tersebut diadakan di tempat tertentu, teratur, sistematis, mempunyai perpanjangan dan dalam kurun waktu tertentu, berlangsung mulai dari pendidikan dasar sampai pendidikan tinggi, dan dilaksanakan berdasarkan aturan resmi yang telah ditetapkan.
Secara historis keberadaan sekolah merupakan perkembangan lebih lanjut dari keberadaan masjid. Sebab, proses pendidikan yang berlangsung di masjid pada periode awal terdapat pendidik, peserta didik, materi dan metode pembelajaran yang diterapkan sesuai dengan materi dan kondisi peserta didik. Hanya saja, dalam mengajarkan suatu materi, terkadang dibutuhkan tanya jawab, pertukaran pikiran, hingga dalam bentuk perdebatan sehingga metode seperti ini kurang serasi dengan ketenangan dan rasa keagungan yang harus ada pada sebagian pengunjung-pengunjung masjid.
Di Indonesia, lembaga pendidikan yang selalu diidentikkan dengan lembaga pendidikan Islam adalah pesantren, Madrasah Ibtidaiyah (MI), Madrasah Tsanawiyah (MTs), dan Madrasah Aliyah (MA)—dan sekolah milik organisasi Islam dalam setiap jenis dan jenjang yang ada, termasuk perguruan tinggi seperti IAIN dan STAIN. Semua lembaga ini akan menjalankan proses pendidikan yang berdasarkan kepada konsep-konsep yang telah dibangun dalam sistem pendidikan Islam.
3.    Lingkungan Masyarakat
Masyarakat sebagai lembaga pendidikan non formal, juga menjadi bagian penting dalam proses pendidikan, tetapi tidak mengikuti peraturan-peraturan yang tetap dan ketat. Masyarakat yang terdiri dari sekelompok atau beberapa individu yang beragam akan mempengaruhi pendidikan peserta didik yang tinggal di sekitarnya. Oleh karena itu, dalam pendidikan Islam, masyarakat memiliki tanggung jawab dalam mendidik generasi muda tersebut.
Menurut an-Nahlawi, tanggung jawab masyarakat terhadap pendidikan tersebut hendaknya melakukan beberapa hal, yaitu: pertama, menyadari bahwa Allah menjadikan masyarakat sebagai penyuruh kebaikan dan pelarang kemungkaran/amar ma’ruf nahi munkar (Qs. Ali Imran/3: 104); kedua, dalam masyarakat Islam seluruh anak-anak dianggap anak sendiri atau anak saudaranya sehingga di antara saling perhatian dalam mendidik anak-anak yang ada di lingkungan mereka sebagaimana mereka mendidik anak sendiri; ketiga, jika ada orang yang berbuat jahat, maka masyarakat turut menghadapinya dengan menegakkan hukum yang berlaku, termasuk adanya ancaman, hukuman, dan kekerasan lain dengan cara yang terdidik; keempat, masyarakat pun dapat melakukan pembinaan melalui pengisolasian, pemboikotan, atau pemutusan hubungan kemasyarakatan sebagaimana yang pernah dicontohkan oleh Nabi; dan kelima, pendidikan kemasyarakatan dapat dilakukan melalui kerja sama yang utuh karena masyarakat muslim adalah masyarakat yang padu.
Ibn Qayyim mengemukakan istilah tarbiyah ijtimaiyah atau pendidikan kemasyarakatan. Menurutnya tarbiyah ijtimaiyah yang membangun adalah yang mampu menghasilkan individu masyarakat yang saling mencintai sebagian dengan sebagian yang lainnya, dan saling mendoakan walaupun mereka berjauhan. Antara anggota masyarakat harus menjalin persaudaraan. Dalam hal ini, ia mengingatkan dengan perkataan hikmah “orang yang cerdik ialah yang setiap harinya mendapatkan teman dan orang yang dungu ialah yang setiap harinya kehilangan teman”.
Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa masyarakat sebagai lingkungan pendidikan yang lebih luas turut berperan dalam terselenggaranya proses pendidikan. Setiap individu sebagai anggota dari masyarakat tersebut harus bertanggung jawab dalam menciptakan suasana yang nyaman dan mendukung. Oleh karena itu, dalam pendidikan anak pun, umat Islam dituntut untuk memilih lingkungan yang mendukung pendidikan anak dan menghindari masyarakat yang buruk. Sebab, ketika anak atau peserta didik berada di lingkungan masyarakat yang kurang baik, maka perkembangan kepribadian anak tersebut akan bermasalah. Dalam kaitannya dengan lingkungan keluarga, orang tua harus memilih lingkungan masyarakat yang sehat dan cocok sebagai tempat tinggal orang tua beserta anaknya. Begitu pula sekolah atau madrasah sebagai lembaga pendidikan formal, juga perlu memilih lingkungan yang mendukung dari masyarakat setempat dan memungkinkan terselenggaranya pendidikan tersebut.
Berpijak dari tanggung jawab tersebut, maka dalam masyarakat yang baik bisa melahirkan berbagai bentuk pendidikan kemasyarakatan, seperti masjid, surau, Taman Pendidikan Al-Qur’an (TPA), wirid remaja, kursus-kursus keislaman, pembinaan rohani, dan sebagainya. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat telah memberikan kontribusi dalam pendidikan yang ada di sekitarnya.
Mengingat pentingnya peran masyarakat sebagai lingkungan pendidikan, maka setiap individu sebagai anggota masyarakat harus menciptakan suasana yang nyaman demi keberlangsungan proses pendidikan yang terjadi di dalamnya. Di Indonesia sendiri dikenal adanya konsep pendidikan berbasis masyarakat (community basid education) sebagai upaya untuk memberdayakan masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan. Meskipun konsep ini lebih sering dikaitkan dengan penyelenggaraan lembaga pendidikan formal (sekolah), akan tetapi dengan konsep ini menunjukkan bahwa kepedulian masyarakat sangat dibutuhkan serta keberadaannya sangat berpengaruh terhadap pelaksanaan pendidikan di suatu lembaga pendidikan formal.

C.  Analisis Filosofis Lingkungan Pendidikan Islam
Untuk mewujudkan pendidikan yang berkualitas, maka ketiga lembaga atau lingkungan pendidikan di atas perlu bekerja sama secara harmonis. Orang tua di tingkat keluarga harus memperhatikan pendidikan anak-anaknya, terutama dalam aspek keteladanan dan pembiasaan serta penanaman nilai-nilai. Orang tua juga harus menyadari tanggung jawabnya dalam mendidik anak-anaknya tidak sebatas taat beribadah kepada Allah semata, seperti shalat, puasa, dan ibadah-ibadah khusus lainnya, akan tetapi orang tua juga memperhatikan pendidikan bagi anaknya sesuai dengan tujuan pendidikan yang ada dalam Islam. Termasuk di antaranya mempersiapkan anaknya memiliki kemampuan/ keahlian sehingga ia dapat menjalankan hidupnya sebagai hamba Allah sekaligus sebagai khalifah fil ardhi serta menemukan kebahagiaan yang hakiki, dunia akhirat. Selain itu, orang tua juga dituntut untuk mempersiapkan anaknya sebagai anggota masyarakat yang baik, sebab, masyarakat yang baik berasal dari individu-individu yang baik sebagai anggota dari suatu komunitas masyarakat itu sendiri. Mengenai hal ini, Allah SWT juga telah menegaskan dalam penggalan Q.S Ar-Ra’du ayat 11:
Artinya: Sesungguhnya Allah tidak merobah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. (Q.S. ar-Ra’du/13: 11)
Menyadari besarnya tanggung jawab orang tua dalam pendidikan anak, maka orang tua juga seyogyanya bekerja sama dengan sekolah atau madrasah sebagai lingkungan pendidikan formal untuk membantu pendidikan anak tersebut. Dalam hubungannya dengan sekolah, orang tua mesti berkoordinasi dengan baik dengan sekolah tersebut, bukan malah menyerahkan begitu saja kepada sekolah. Sebaliknya, pihak sekolah juga menyadari bahwa peserta didik yang ia didik merupakan amanah dari orang tua mereka sehingga bantuan dan keterlibatan orang tua sangat dibutuhkan. Kemudian sekolah juga harus mampu memberdayakan masyarakat seoptimal mungkin, dalam rangka peningkatan kualitas pendidikan yang diterapkan.
Begitu pula masyarakat pada umumnya, harus menyadari pentingnya penyelenggaraan pendidikan yang dimulai dari tingkat keluarga hingga kepada sekolah serta lembaga-lembaga pendidikan non formal lainnya dalam upaya pencerdasan umat. Sebab antara pendidikan dengan peradaban yang dihasilkan suatu masyarakat memiliki korelasi positif, semakin berpendididikan suatu masyarakat maka semakin tinggi pula peradaban yang ia hasilkan; demikian sebaliknya. Jadi, dibutuhkan pendidikan terpadu antara ketiga lingkungan pendidikan tersebut.
Dengan keterpaduan ketiganya diharapkan pendidikan yang dilaksanakan mampu mewujudkan tujuan yang diinginkan. Pendidikan terpadu seperti inilah yang diinginkan dalam perspektif pendidikan Islam. Bahkan prinsip integral (terpadu) menjadi salah satu prinsip dalam sistem pendidikan Islam. Prinsip ini tentu tidak hanya keterpaduan antara dunia dan akhirat, individu dan masyarakat, atau jasmani dan rohani; akan tetapi keterpaduan antara lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat juga termasuk di dalamnya.

BAB III
Penutup
A.      Kesimpulan
Dari paparan di atas dapat disimpulkan bahwa lingkungan pendidikan sangat berperan dalam penyelenggaraan pendidikan Islam, sebab lingkungan yang juga dikenal dengan institusi itu merupakan tempat terjadinya proses pendidikan. Secara umum lingkungan tersebut dapat dilihat dari tiga hal, yaitu keluarga, sekolah, dan masyarakat. Keluarga yang ideal dalam perspektif Islam adalah keluarga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah. Profil keluarga semacam ini sangat diperlukan pembentukannya sehingga ia mampu mendidik anak-anaknya sesuai dengan prinsip-prinsip ajaran Islam. Kemudian orang tua harus menyadari pentingnya sekolah dalam mendidik anaknya secara profesional sehingga orang tua harus memilih pula sekolah yang baik dan turut berpartisipasi dalam peningkatan sekolah tersebut.
Sementara sekolah atau madrasah juga berperan penting dalam proses pendidikan. Sekolah sebagai lembaga pendidikan formal yang pada hakikatnya sebagai institusi yang menyandang amanah dari orang tua dan masyarakat, harus menyelenggarakan pendidikan yang profersional sesuai dengan prinsip-prinsip dan karakteristik pendidikan Islam. Sekolah harus mengajarkan berbagai ilmu pengetahuan dan keahlian bagi peserta didiknya sesuai dengan kemampuan peserta didik itu sendiri.
B.   Saran
Begitu pula masyarakat, dituntut perannya dalam menciptakan tatanan masyarakat yang nyaman dan peduli terhadap pendidikan. Masyarakat diharapkan terlibat aktif dalam peningkatan kualitas pendidikan yang ada di sekitarnya. Selanjutnya, ketiga lingkungan pendidikan tersebut harus saling bekerja sama secara harmonis sehingga terbentuklah pendidikan terpadu yang diikat dengan ajaran Islam. Dengan keterpaduan seperti itu, diharapkan amar ma’ruf nahi munkar dalam komunitas masyarakat tersebut dapat ditegakkan sehingga terwujudlah masyarakat yang diberkahi dan tatanan masyarakat yang baldatun tayyibatun wa rabbun ghafur.

Daftar Pustaka
Ahmadi, Abu dan Nur Uhbiyati, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Rineka Cipta, 1991
Daradjat, Zakiah, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1992
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Semarang: Toha Putra, 1999
Depdiknas, Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
an-Nahlawi, Abdurrahman, Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah, dan Masyarakat, Penj. Shihabuddin,(Jakarta: Gema Insani Press, 1995
Nata, Abuddin, Filsafat Pendidikan Islam,(Jakarta: Gaya Media Pratama, 2005 Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam,(Jakarta: Kalam Mulia, 2002


[1] Sudiyono, H.M. Ilmu Pendidikan Islam Jilid I.Jakarta: Rineka cipta.2009.Hal.298
[2] http://mohamadrofiul.blogspot.com/2010/04/makalah-filosofi-lingkungan-pendidikan.html
[3]Ibid 1