Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia di Era Globalisasi

Minggu, 27 Februari 2011

BAB I
Pendahuluan
A.       Latar belakang masalah.
Sampai 28 Oktober tahun 2006 ini, sudah 78 tahun usia bahasa Indonesia sejak pertama kali disebut secara resmi pada Soempah Pemoeda 28 Oktober 1928. Kurun waktu yang tidak dapat dikatakan sebentar, tetapi tidak juga terlalu tua. Dalam rentang waktu tersebut, berbagai peristiwa berkaitan dengan bahasa Indonesia terjadi. Kongres bahasa Indonesia, berbagai ejaan yang muncul sejak Ejaan van Ophuysen sampai Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan, seminar-seminar, penelitian-penelitian, dan secara legal formal adalah ditetapkannya bahasa Indonesia secara resmi sebagai bahasa nasional dan bahasa negara dalam bab XV pasal 36 Undang-undang Dasar 1945.
Sebagai bahasa negara, bahasa Indonesia mempunyai berbagai fungsi, yaitu sebagai bahasa resmi negara, bahasa pengantar di lembaga-lembaga pendidikan, alat perhubungan pada tingkat nasional bagi kepentingan menjalankan roda pemerintahan dan pembangunan, dan alat pengembangan kebudayaan dan pemanfaatan ilmu pengetahuan, seni, serta teknologi modern. Fungsi-fungsi ini tentu saja harus dijalankan secara tepat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Fungsi bahasa Indonesia dalam kaitannya dengan lembaga-lembaga pendidikan seperti telah disebutkan di atas adalah sebagai bahasa pengantar. Jadi, dalam kegiatan/proses belajar-mengajar bahasa pengantar yang digunakan adalah bahasa Indonesia. Berkaitan dengan hal ini, saat ini muncul fenomena menarik dengan adanya Sekolah Nasional Berstandar Internasional (SNBI). Kekhawatiran sebagaian orang terhadap keberadaan bahasa Indonesia dalam SNBI muncul karena bahasa pengantar yang digunakan dalam beberapa mata pelajaran adalah bahasa asing. Padahal kalau kembali ke fungsi bahasa Indonesia, salah satunya adalah bahasa pengantar di lembaga-lembaga pendidikan.
B.       Rumusan masalah.
1.        Bagaimana Bahasa Indonesia di era globalisasi?
2.        Bagaimana pendidikan Bahasa Indonesia di era globalisasi?
C.       Tujuan.
1.      Menjelaskan jati diri bahasa Indonesia di era globalisasi.
2.      Menguraikan bagaimana pendidikan bahasa indonesia yang seharusnya di era globalisasi.
D.      Manfaat.
1.      Pengetahuan pembaca tentang jati diri bahasa indonesia di era globalisasi.
3.      Pengetahuan pembaca tentang pend pendidikan bahasa indonesia yang seharusnya di era globalisasi.
BAB II
Pembahasan
A.       Jati Diri Bahasa Indonesia pada Era Globalisasi.
Dalam era globalisasi ini, jati diri bahasa Indonesia perlu dibina dan dimasyarakatkan oleh setiap warga negara Indonesia. Hal ini diperlukan agar bangsa Indonesia tidak terbawa arus oleh pengaruh dan budaya asing yang jelas-jelas tidak sesuai dan (bahkan) tidak cocok dengan bahasa dan budaya bangsa Indonesia. Pengaruh dari luar atau pengaruh asing ini sangat besar kemngkinannya terjadi pada era globalisasi ini. Batas antarnegara yang sudah tidak jelas dan tidak ada lagi, serta pengaruh alat komunikasi yang begitu canggih harus dihadapi dengan mempertahankan jati diri bangsa Indonesia, termasuk jati diri bahasa Indonesia. Sudah barang tentu, hal ini semua menyangkut tentang kedisiplinan berbahasa nasional, yaitu pematuhan aturan-aturan yang berlaku dalam bahasa Indonesia dengan memperhatikan siatuasi dan kondisi pemakaiannya. Dengan kata lain, pemakai bahasa Indonesia yang berdisiplin adalah pemakai bahasa Indonesia yang patuh terhadap semua kaidah atau aturan pemakaian bahasa Indonesia yang sesuai dengan situasi dan kondisinya.
Setiap warga negara Indonesia, sebagai warga masyarakat, pada dasarnya adalah pembina bahasa Indonesia. Hal ini tidak berlebihan karena tujuan utama pembinaan bahasa Indonesia ialah menumbuhkan dan membina sikap positif terhadap bahasa Indonesia. Untuk menyatakan sikap positif ini dapat dilakukan dengan (1) sikap kesetiaan berbahasa Indonesia dan (2) sikap kebanggaan berbahasa Indonesia. Sikap kesetiaan berbahasa Indonesia teruangkap jika bangsa Indonesia lebih suka memakai bahasa Indonesia daripada bahasa asing dan bersedia menjaga agar pengaruh asing tidak terlalu berlebihan. Sikap kebanggan berbahasa Indonesia terungkap melalui kesadaran bahwa bahasa Indonesia pun mampu mengungkapkan konsep yang rumit secara cermat dan dapat mengungkapkan isi hati yang sehalus-halusnya. Yang perlu dipahami adalah sikap positif terhadap bahasa Indonesia ini tidak berarti sikap berbahasa yang tertutup dan kaku. Bangsa Indonesia tidak mungkin menuntut kemurnian bahasa Indonesia (sebagaimana aliran purisme) dan menutup diri dari saling pengaruh dengan bahasa daerah dan bahasa asing. Oleh karena itu, bangsa Indonesia harus bisa membedakan mana pengaruh yang positif dan mana pengaruh yang negatif terhadap perkembangan bahasa Indonesia. Sikap positif seperti inilah yang bisa menanamkan percaya diri bangsa Indonesia bahwa bahasa Indonesia itu tidak ada bedanya dengan bahasa asing lain. Masing-masing bahasa mempunyai kelebihan dan kekurangannya. Sikap positif terhadap bahasa Indonesia memberikan sumbangan yang signifikan bagi terciptanya disiplin berbahasa Indonesia. Selanjutnya, disiplin berbahasa Indonesia akan membantu bangsa Indonesia untuk mempertahankan dirinya dari pengaruh negatif asing atas kepribadiannya sendiri. Hal ini sangat diperlukan untuk menghadapi pergaulan antarbangsa dan era globalisasi ini.
Di samping itu, disiplin berbahasa nasional juga menunjukkan rasa cinta kepada bahasa, tanah air, dan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Setiap warga negara Indonesia mesti bangga mempunyai bahasa Indonesia dan lalu menggunakannya dengan baik dan benar. Rasa kebanggaan ini pulalah yang dapat menimbulkan rasa nasionalisme dan rasa cinta tanah air yang mendalam. Setiap warga negara yang baik mesti malu apabila tidak dapat menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar. Sikap pemakai bahasa Indonesia demikian ini merupakan sikap yang positif, baik, dan terpuji. Sebaliknya, apabila yang muncul adalah sikap yang negatif, tidak baik, dan tidak terpuji, akan berdampak pada pemakaian bahasa Indonesia yang kurang terbina dengan baik. Mereka menggunakan bahasa Indonesia "asal orang mengerti". Muncullah pemakaian bahasa Indonesia sejenis bahasa prokem, bahasa plesetan, dan bahasa jenis lain yang tidak mendukung perkembangan bahasa Indonesia dengan baik dan benar.
Mereka tidak lagi memperdulikan pembinaan bahasa Indonesia. Padalah, pemakai bahasa Indonesia mengenal ungkapan "Bahasa menunjukkan bangsa", yang membaw pengertian bahwa bahasa yang digunakan akan menunjukkan jalan pikiran si pemakai bahasa itu. Apabila pemakai bahasa kurang berdisiplin dalam berbahasa, berarti pemakai bahasa itu pun kurang berdisiplin dalam berpikir. Akibat lebih lanjut bisa diduga bahwa sikap pemakai bahasa itu dalam kehidupan sehari-hari pun akan kurang berdisiplin. Padahal, kedisiplinan itu sangat diperlukan pada era globalisasi ini. Lebih jauh, apabila bangsa Indonesia tidak berdisiplin dalam segala segi kehidupan akan mengakibatkan kekacauan cara berpikir dan tata kehidupan bangsa Indonesia. Apabila hal ini terjadi, kemajuan bangsa Indonesia pasti terhambat dan akan kalah bersaing dengan bangsa lain.
Era globalisasi merupakan tantangan bagi bangsa Indonesia untuk dapat mempertahankan diri di tengah-tengah pergaulan antarbangsa yang sangat rumit. Untuk itu, bangsa Indonesia harus mempersiapkan diri dengan baik dan penuh perhitungan. Salah satu hal yang perlu diperhatikan adalah masalah jati diri bangsa yang diperlihatkan melalui jati diri bahasa. Jati diri bahasa Indonesia memperlihatkan bahwa bahasa Indonesia adalah bahasa yang sederhana, Tatabahasanya mempunyai sistem sederhana, mudah dipelajari, dan tidak rumit. Kesederhanaan dan ketidakrumitan inilah salah satu hal yang mempermudah bangsa asing ketika mempelajari bahasa Indonesia. Setiap bangsa asing yang mempelajari bahasa Indonesia dapat menguasai dalam waktu yang cukup singkat. Namun, kesederhaan dan ketidakrumitan tersebut tidak mengurangi kedudukan dan fungsi bahasa Indonesia dalam pergaulan dan dunia kehidupan bangsa Indonesia di tengah-tengah pergaulan antarbangsa. Bahasa Indonesia telah membuktikan diri dapat dipergunakan untuk menyampaikan pikiran-pikiran yang rumit dalam ilmu pengetahuan dengan jernih, jelas, teratur, dan tepat. Bahasa Indonesia menjadi ciri budaya bangsa Indonesia yang dapat diandalkan di tengah-tengah pergaulan antarbangsa pada era globalisasi ini. Bahkan, bahasa Indonesia pun saat ini menjadi bahan pembelajaran di negara-negara asing seperti Australia, Belanda, Jepang, Amerika Serikat, Inggris, Cina, dan Korea Selatan.
B.       Pembelajaran bahasa indonesia pada era globalisasi.
Dalam  menghadapi  era  global  saat  ini,  tampaknya  kita  harus    berbenah  untuk menghadapi berbagai fenomena yang  terjadi. Tujuan pembelajaran bahasa yang mengarah pada penggunaan  bahasa  perlu  mendapat  pencermatan  kita.  Saat  ini  perhatian  para  guru  bahasa Indonesia  tertuju  pada  upaya  menerampilkan  siswa  dalam  penggunaan  bahasa  Indonesia. Pertanyaan  kritis  untuk  kondisi  seperti  itu  adalah  apakah  kita  akan  berhenti melakukan  upaya dalam pembelajaran bahasa manakalah para siswa terampil menggunakan bahasa.
Pada  era  global  diperlukan  pikiran-pikiran  kritis  dan  kreatif.  Kemampuan  berpikir tersebut  perlu mendapat  perhatian  para  pendidik,  termasuk  guru  bahasa  Indonesia. Untuk  itu, pembelajaran  bahasa  Indonesia  saat  ini  tidak  sekadar  mencapai  keterampilan  berbahasa Indonesia,  tetapi  juga mengarah  pada  peningkatan  kemampuan  berpikir  tersebut. Dengan  kata lain, sudah saatnya kita bertanya diri apa yang bisa kita berikan untuk menjadikan siswa berpikir kritis dan kreatif melalui pembelajaran bahasa Indonesia.
Berpikir kritis  merupakan salah satu kegiatan manusia yang saat ini sangat diperlukan untuk mengembangkan berbagai segi kehidupan, baik sosial, budaya, maupun teknologi. Alvino (dalam Cotton,1991) menyatakan bahwa, “berpikir kritis adalah proses menentukan kebenaran, ketepatan, atau penilaian terhadap sesuatu yang ditandai dengan mencari alasan dan alternatif, dan mengubah pandangan seseorang berdasarkan bukti”. Scriven & Paul (dalam Cotton,1991; Piaw, 2004:66) memberikan batasan terhadap berpikir kritis sebagai salah satu model berpikir tentang suatu subjek, isi, atau masalah – yang digunakan oleh seseorang untuk meningkatkan kualitas berpikirnya melalui penggunaan struktur berpikir secara cekatan dan menentukan standar intelektualnya. Kedua batasan tersebut memunculkan pemahaman bahwa berpikir kritis terkait dengan logika. Lebih lanjut Alvino menyatakan bahwa berpikir kritis disebut juga berpikir logis dan berpikir analitis.
Alvino membatasi berpikir kreatif sebagai cara melihat dan melakukan sesuatu yang baru yang ditandai dengan kelancaran (menghasilkan banyak gagasan), kelenturan (mengubah pandangan secara mudah), keaslian (memiliki kebaruan), dan elaborasi (membangun berbagai gagasan). Facione (1998) menyatakan bahwa berpikir kreatif atau berpikir inovatif adalah sejenis berpikir yang menimbulkan wawasan baru, pendekatan baru, perspektif yang segar, yang semuanya merupakan cara-cara baru untuk memahami dan menyusun sesuatu. Secara singkat Smalling (dalam Cotton,1991) memberikan batasan bahwa creative thinking is the ability to invent original ideas for accomplishing goals. 
Ketiga batasan tersebut terkait dengan unsur “baru”. Unsur ini menjadi penanda kreativitas. Unsur “baru” dalam produk kreatif ini tidak berarti harus “baru sama sekali”. Unsur 5 ini dapat dihasilkan dari proses kombinasi, penggabungan, atau penyusunan kembali gagasan. Dengan demikian, “kebaruan” lebih dekat dengan pertimbangan dari sudut pengalaman pencipta. Selain itu, bukan berarti produk kreatif hanya didasarkan pada unsur “baru” tanpa mempertimbangkan proses berpikir yang melahirkan kebaruan tersebut. Produk kreatif lahir dari proses berpikir yang melibatkan juga struktur berpikir logis sehingga “keanehan”, “keunikan”, dan “keganjilan” masih dapat dijelaskan secara rasional. Misalnya, robot sebagai produk kreatif di bidang teknologi, baik dalam penciptaannya maupun operasinya menggunakan prinsip-prinsip logika teknologi. 
Kedua jenis berpikir tersebut sangat tepat untuk mendedah pembelajaran bahasa Indonesia saat ini. Mari kita tafakur: sudahkah kita mengarahkan pembelajaran bahasa Indonesia untuk menjadikan siswa mampu berpikir kritis dan kreatif sehingga mereka dapat menghadapi berbagai tantangan dalam era global saat ini; bagaimana caranya sehingga pembelajaran bahasa Indonesia mampu menggerakkan pikiran kritis dan kreatif siswa.
C.       Faktor penghambat dan pendukung.
Pembelajaran bahasa Indonesia saat ini, menurut saya, belum menuju pada pembentukan kedua pola berpikir tersebut. Para guru masih sibuk memikirkan pencapaian berbagai kompetensi yang dituntut KTSP sehingga pembelajaran yang berlangsung belum menembus hakikat pembentukan pola berpikir. Agar pembelajaran bahasa Indonesia masuk ke zona pembentukan pola berpikir, teknik-teknik pembelajarannya perlu dikokohkan. Armstrong (2009:vii) menyatakan bahwa sarana berpikir kreatif membantu  menyatukan fungsi hemisfer kanan –kiri, memperkuat, dan mengintegrasikan proses berpikir secara serempak, tetapi bertahap. Lebih lanjut Armstrong menawarkan teknik pembelajaran melalui solusi seluruh otak (The Whole –Brain Solution).
Dalam pembelajaran mendengarkan dan membaca teknik pembelajarannya harus sampai pada siswa mampu menemukan strategi informasi yang ditangkapnya bukan hanya siswa mampu mengingat dan menemukan pokok-pokok pikiran. Jika sampai pada penemuan strategi informasi siswa dapat berpikir kritis dan kreatif mengenai pokok pikiran yang disampaikan, pengurutan pokok pikiran, dan pandangan yang melatarbelakanginya.
Dalam pembelajaran berbicara siswa diharapkan mampu menyampaikan pikiran-pikiran kritis dan kreatif dalam menghadapi berbagai fenomena kehidupan. Teknik pembelajaran yang digunakan sebaiknya mengarah pada teknik seminar sehingga para siswa disiapkan untuk menemukan topik, mengunduh informasi, meramu gagasan, dan mempresentasikan pikiran-pikiran kritis dan kreatif, baik pada kelas kecil maupun pada kelas besar. Dengan penguatan seperti itu pembelajaran bahasa dapat berkiprah pada pemecahan masalah yang terjadi dalam kehidupan.
Dalam pembelajaran menulis para siswa harus mampu menyajikan berbagai tulisannya untuk menjawab tantangan zaman. Penelusuran topik, penemuan masalah, dan pemecahan masalah harus menjadi bagian yang tak terpisahkan. Tulisan para siswa harus mendapat apresiasi untuk dapat disajikan dalam berbagai forum atau penerbitan. Dengan demikian, pembelajaran bahasa Indonesia mampu membentuk keberanian siswa untuk menyampaikan pikiran kritis dan kreatifnya.
Dalam pembelajaran kemampuan bersastra para siswa diarahkan untuk mampu menyelami karya sastra (bukan hanya persoalan unsur intrinsik, melainkan juga unsur ekstrinsiknya). Dalam hal memahami unsur intrinsik, kepahaman para siswa bukan hanya sebatas menemukan unsur intrinsik, melainkan juga diajak untuk menembus batas-batasnya sehingga diperlukan kemampuan berpikir kritis dan kreatifnya. Dalam hal memahami unsur ekstrinsik, para siswa diajak untuk mampu melihat nilai-nilai yang terkandung di dalam karya sastra sehingga mereka dapat memberikan pertimbangan mengenai kualitas kehidupan manusia. 
BAB III
Penutup
A.       Kesimpulan.
Tanggung jawab terhadap perkembangan bahasa Indonesia terletak di tangan pemakai bahasa Indonesia sendiri. Baik buruknya, maju mundurnya, dan tertatur kacaunya bahasa Indonesia merupakan tanggung jawab setiap orang yang mengaku sebagai warga negara Indonesia yang baik. Setiap warga negara Indonesia harus bersama-sama berperan serta dalam membina dan mengembangkan bahasa Indonesia itu ke arah yang positif. Usaha-usaha ini, antara lain dengan meningkatkan kedisiplinan berbahasa Indonesia pada era globalisasi ini, yang sangat ketat dengan persaingan di segala sektor kehidupan. Maju bahasa, majulah bangsa. Kacau bahasa, kacaulah pulalah bangsa. Keadaan ini harus disadari benar oleh setiap warga negara Indonesia sehingga rasa tanggung jawab terhadap pembinaan dan pengembangan bahasa Indonesia akan tumbuh dengan subur di sanubari setiap pemakai bahasa Indonesia. Rasa cinta terhadap bahasa Indonesia pun akan bertambah besar dan bertambah mendalam. Sudah barang tentu, ini semuanya merupakan harapan bersama, harapan setiap orang yang mengaku berbangsa Indonesia.
B.       Saran.
Untuk dapat menembus entitas paparan di atas kita perlu menyiapkan diri menjadi guru yang memiliki kompetensi dan profesional. Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan dijelaskan bahwa seorang pendidik harus memiliki kompetensi sebagai agen pembelajaran, yaitu (a) kompetensi pedagogik, (b) kompetensi sosial, (c) kompetensi kepribadian, dan (d) kompetensi profesional.
Daftar pustaka

Esten, Mursai. 2010. “Bahasa dan Sastra Sebagai Identitas Bangsa Dalam Proses Globalisasi”. www.susandi.wordpress.com diakses 13 Januari 2010.

Muslich, Masnur. 2006. “Bahasa Indonesia dan Era Globalisasi”. www.re-searchengines.com diakses 12 Januari 2010.

0 komentar:

Posting Komentar